Adaabut
Ta’aamul Fil Jama’aah
(Adab Berinteraksi Dalam
Jamaah)
“Sesungguhnya jika engkau tidak bersama mereka, maka engkau tidak akan bersama orang-orang selain mereka. Sementara jika mereka tidak bersamamu, mereka tetap eksis bersama yang lain.”
Kata-kata salafus shaleh di atas menyadarkan kita tentang
kebutuhan kita akan jamaah dan untuk senantiasa berada dalam ruang lingkupnya, karena
bila kita tidak lagi bersama mereka, tidak mungkin kita bergaul dengan
orang-orang yang standarnya di bawah mereka. Sementara jamaah dan mereka yang
ada di dalamnya akan terus eksis dan berjalan dengan atau tanpa kita.
Gamblangnya, masuk dan keluarnya kita dari jamaah tidak akan berpengaruh banyak
apalagi sampai mengguncangkan jamaah. Dengan kata lain bila kita keluar dari
jamaah, kitalah yang merugi. Sementara bagi jamaah boleh dibilang hampir tidak
ada kerugian, karena begitu banyak yang siap menggantikan kita.
Karena itu keberadaan kita di dalam jamaah adalah anugerah
Allah yang harus disyukuri dan dipelihara. Salah satu upaya menjaga karunia
kesertaan kita dalam jamaah adalah dengan senantiasa berinteraksi secara
intensif dengan dakwah itu sendiri dan semua elemen-elemen dakwah atau elemen
jamaah.
Yang terpenting tentu saja adalah dengan dakwah atau jamaah
itu sendiri, kemudian dengan mas’ul atau naqib. Berikutnya dengan sesama ikhwah
atau a’dha jamaah. Lalu dengan para muayyid dan akhirnya dengan sang murabbi
yang menghantarkan kita ke dalam jamaah.
A. Ma’ad Dakwah (Interaksi dengan dakwah)
1. At-takhally
‘an shillati bi ayyi haiatin aw jamaa’atin. Melepaskan diri dari segala keterikatan dengan lembaga-lembaga atau
jamaah- jamaah lainnya (terutama apabila diminta oleh jamaah untuk melakukan
itu). Salah satu arkanul ba’iah dalam jamaah kita adalah tajarrud yang
penjabarannya adalah kita memberikan loyalitas, keterikatan dan ketaatan
kita secara total kepada jamaah. Kalaupun kita memiliki kritik-kritik yang
konstruktif terhadap jamaah bukan karena kita tidak tsiqah atau bahkan melirik
jamaah lain. Sehingga bila jamaah menilai kita harus memutuskan ikatan dengan
yayasan atau jamaah tertentu, karena dinilai membahayakan, seyogianyalah kita
menerima dan menaati. Kecuali bila
jamaah menugaskan di lembaga atau jamaah tertentu untuk tujuan tertentu (On
mission).
3. Ta’arruf
alal ikhwati dua’ti ma’rifat taamati wayaal’aksa. Berkenalan dengan para du’at dengan
pengenalan yang sempurna dan sebaliknya mereka juga mengenal kita dengan
sempurna. Selain untuk menunaikan hak-hak dan kewajiban ukhuwah, perkenalan
yang intensif dan sempurna dengan para duat akan membuat kita dapat saling
berkaca dan memacu diri. Apalagi dengan para ikhwah yang lebih dulu memasuki
jamaah dibanding kita. Bukankah Rasulullah saw. bersabda, “Al-mu’minu mir’ah
li akhihi” (mu’min cermin bagi saudaranya).
4. Adaaul waajibaatil maaliyyah (zakat, infak dsb)
Menunaikan kewajiban-kewajiban maaliyah seperti zakat, infaq, ta’awun dll). Tak
pelak lagi masalah ekonomi, maisyah atau maaliyah adalah hal yang penting yang
harus diperhatikan oleh a’dha jamaah. Untuk menunaikan kewajiban maaliyah di
dalam Islam dan jamaah seperti zakat, ta’awun, infaq dan lainnya tentu saja
harus diwujudkan dulu karateristik qaadirun alal kasbi di dalam diri
a’dha tersebut.
5. Nasyrud dakwah
fi kulli makaan wa ahli alaa dzaalik. Menyebarkan dakwah di setiap tempat dan membentuk keluarga-keluarga
dakwah. Pembentukan pribadi muslim di dalam jamaah dimaksudkan tidak saja
membuat seorang muslim menjadi saleh tetapi juga harus muslih. Jadi tidak hanya
sekadar mengupayakan nilai-nilai kebaikan melekat dalam dirinya, melainkan juga
mengupayakan agar keluarga dan masyarakatnya pun terwarnai oleh nilai-nilai
kebaikan tersebut. Bahkan harus pula menjadikan keluarga sebagai
pendukung-pendukungnya yang utama dalam dakwah.
6. At-ta’arrufu
alaal harakati Islamiyah.
Mengenal harakah-harakah Islam. Keberadaan kita sebagai a’dha di dalam jamaah
ini tentu saja harus membuat kita semakin mengenal jamaah kita, sejarah, visi
dan misinya, tokoh-tokohnya dll., sebagai sebuah harakah Islam. Dan sebagai
bahan pembanding kita juga perlu mengenal harakah-harakah Islam lainnya.
B. Ma’an Naqib
Naqib atau qiyadah dalam dakwah memiliki hak seorang bapak
dalam ikatan hati, hak seorang ustadz dalam hal menambah dan mentransfer ilmu,
hak seorang syekh dalam memberikan tarbiyah ruhiyah dan akhirnya hak seorang
komandan dalam menentukan atau memberikan kebijakan-kebijakan umum di lapangan
dakwah.
Dalam proses interaksi dengan naqibnya, seorang adha atau al
akh dituntut supaya bisa berhubungan dengan baik sebagai perwujudan keqiyadahan
yang terdekat dengannya. Di antaranya ialah memperhatikan hak-hak naqib seperti
tersebut di atas. Selain itu juga berusaha memenuhi hal-hal sebagai berikut:
1. Tha’at. Seorang a’dha hendaknya senantiasa taat
melaksanakan perintah-perintah dan arahan-arahannya dalam kondisi senang atau
susah serta sulit dan mudah.
2. Tsiqah. Seorang akh dikatakan tsiqah kepada
naqibnya jika ia memiliki ketenangan dan ketenteraman jiwa terhadap apa-apa
yang datang dari sang naqib Ia tidak pernah ragu- ragu terhadap arahan yang
datang darinya.
3. Iltizam. Seorang adho harus berupaya menjaga,
melanggengkan iltizam atau komitmennya kepada naqib dan jamaah dengan jalan
keterbukaan menginformasikan kondisi diri secara obyektif, sehingga terjaga
pula hubungan ruhiyah dan amaliyah dalam ruang lingkup berjamaah.
4. Memiliki sikap ihtiram (menghormati) naqib.
Bukanlah suatu ciri feodalisme jika kita menghormati atasan kita yang layak
dihormati. Apalagi ia berfungsi sekaligus sebagai orang tua, guru, syekh dan
qaid. Bukankah Islam mengajarkan kita menghormati orang yang lebih tua dari kita
dan banyak memberikan kebaikan untuk kita seperti orang tua, guru, syekh dan
komandan.
5. Memberi nasihat, masukan, saran dan kritik secara halus
dan sembunyi-sembunyi alias tidak di depan orang lain. Memang tak bisa
dipungkiri, naqib adalah juga manusia biasa yang punya kekurangan dan
kelemahan, namun bila kita ingin mengkritisi atau memberi masukan hendaknya
dengan memperhatikan adab agar martabat atau izzahnya sebagai naqib tidak
terlecehkan di hadapan orang lain.
C. Ma’al ikhwah
Terhadap sesama ikhwah atau a’dha jamaah kita pun dituntut
untuk memiliki adab yang benar dalam berinteraksi. Beberapa hal di bawah ini
penting diwujudkan dalam interaksi dengan sesama ikhwah agar suasana ukhuwah
benar-benar tercipta di dalam jamaah kita.
1. Selalu husnuz zhan (bersangka baik) dan bahkan
berusaha mencarikan alasan untuk membelanya jika ada orang lain yang menghujat
ikhwah kita.
2. Memperlihatkan mahabbah atau rasa cinta pada mereka dan
berusaha menahan emosi atau memaklumi kebodohan-kebodohan mereka.
3. Mendoakan mereka ketika kita berpisah atau sedang tidak
bersama mereka. Dalam hadis disebutkan doa seorang muslim untuk saudaranya
ketika berpisah atau sedang tidak bersamanya mustajab. Di sisi kepalanya ada
malaikat yang setiap kali ia berdoa untuk saudaranya meminta kebaikan berkata
malaikat: Amin dan bagimu hal yang seperti itu pula..
4. Tanashur, tolong-menolong sesama ikhwah sebagai
realisasi ukhuwah. “Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim atau dizhalimi,”
yakni engkau menghalanginya dari berbuat kezhaliman atau membebaskannya dari
keteraniayaan.
5. Mengakui dan menghargai bantuan mereka di waktu lapang
dan sempit, serta merasakan dan menyadari bahwa kekuatannya, tidak dapat
bergerak dengan sendirinya tanpa andil dan bantuan ikhwah lainnya seperti
problem yang dialami dalam masalah maisyah, penyimpangan atau terkena fitnah.
6. Tidak menyukai atau tidak rela jika saudaranya berada
dalam bahaya dan bersegera berbuat untuk mencegah atau menolak dan
menyelamatkan saudaranya tersebut dari bahaya.
7. Memberikan tadhiyah (pengorbanan) terhadap sesama
ikhwah. Hasan Basri, ”Tidak ada yang kekal dalam kehidupan ini, kecuali tiga
hal; Pertama saudaramu yang kau dapati berkelakuan baik. Kedua
apabila engkau menyimpang dari jalan kebenaran ia meluruskanmu dan mencegahmu
dari keburukan. Tidak ada seorang pun selainnya yang mengontrolmu. Ketiga
shalat berjamaah menghindarkanmu dari melupakannya dan meraih ganjarannya.”
D. Ma’al Mu’ayidin (Bersama Muayid)
Seorang a’dha jamaah adalah seorang murabbi bagi para
muayidinnya. Ia menjadi pintu gerbang yang akan menghantarkan muayidnya ke
dalam jamaah. Agar bisa menjadi daya tarik dalam merekrut dan menghantarkan
muayidnya ke dalam jamaah, ia dituntut agar bisa berinteraksi dengan baik dan
tepat dengan mua’yidnya di antaranya ialah:
1. Menghargai dan
menempatkan diri muayid secara seimbang atau proporsional. Mereka bukan
segala-galanya atau yang paling hebat dan penting sehingga seolah olah tidak
akan ada yang dapat menggantikan mereka. Tetapi tidak pula meremehkannya,
merendahkannya atau menempatkannya secara tidak proporsional di tempat yang
tidak bernilai atau rendah dan tidak sesuai dengan mereka. Sehingga
terkesan tidak menghargai potensi dan bakat mereka.
2. Mendahulukan hal yang paling penting di atas hal yang
paling penting atau menggunakan skala prioritas. Dan yang pertama harus
dilakukan adalah menumbuhkan akidah di hatinya.
3. Berhemat dalam menasihati muayyid sehingga bisa masuk dan
meresap.
4. Meninggalkan cara-cara yang keras atau kasar walau dengan
hujah yang benar.
5. Menghindari jawaban langsung atau to the point dan
sanggahan yang ketus atau mematahkan.
6. Menghindari penghancuran potensi dalam meng’ilaj atau
mengatasi permasalahan ringan atau dengan jalan membebani dengan beban berat
yang tidak proporsional dan tidak mendidik.
7. Hati-hati terhadap pemborosan tenaga. Hendaknya kita
memperhatikan tingkat kecerdasan dan ilmu muayyid kita sehingga tidak perlu
berpanjang-panjang dalam membahas hal yang sudah jelas.
8. Setiap perkataan memiliki tempatnya masing-masing dan
setiap tempat memiliki jenis perkataan yang cocok. Rasulullah saw. bersabda:
“Berbicaralah pada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka.”
9. Mempelajari kondisi mereka dan mengenali permasalahan
–permasalahan mereka misalnya ia sebagai murabbi tidak langsung mencerca bila
mad’u terlambat datang karena boleh jadi ada uzur syar’i yang tidak bisa
diatasinya. Kemudian tidak mendikte dalam pekerjaannya dan tidak membebaninya
dengan beban yang tidak sanggup ditanggungnya, karena pepatah mengatakan bahwa
Madinah tidak dibangun dalam waktu satu hari.
10. Jadilah teladan baginya dalam segala situasi.
11. Kontinyu mendakwahinya sampai tampak hasilnya.
E. Ma’al Murabbi
Seorang akh atau a’dha bisa masuk ke dalam jamaah adalah
karena jasa murabbinya. Hal itu tidak akan pernah terhilangkan dari catatan
malaikat Raqib, sehingga seyogianyalah tidak terhapus dari benak a’dha
tersebut.
1. Menghormati mereka karena bagaimanapun Allah telah
menjadikan mereka sebagai sebab tergabungnya kita menjadi a’dha jamaah ini.
Dengan kata lain merekalah yang telah menghantarkan kita masuk ke dalam jamaah
ini, walaupun kini kita telah menyamai atau bahkan mungkin melebihi atau
melampaui mereka dalam hal wazhifah tanzhimiyah misalnya.
2. Sesungguhnya mereka tetap gurumu dan bukan mantan guru atau
sekadar orang yang pernah menjadi gurumu.
3. Terus mengingat-ingat kebaikan mereka dan melupakan
kelemahan-kelemahan mereka jika memang ada.
Jika kesemua interaksi dengan keseluruhan elemen jamaah itu
terjalin dengan baik, insya Allah akan terpeliharalah kekokohan iltizam kita
dengan jamaah itu sendiri. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar