Dalam
aktivitas dakwah dan harakah dibutuhkan banyak liqa’at/pertemuan
majelis-majelis. Demikian pula ketika mihwar dakwah kita sudah bergerak
ke mihwar muasasi, kita tetap memerlukan diadakannya majelis-majelis
pertemuan. Dan terutama memasuki era kepartaian inilah, penting bagi kita
mengingat Adab Majelis dalam ajaran Islam agar kita tidak terjerumus ke dalam
majelis yang tidak di berkati Allah.
Adab Majelis dalam Buku Adab Halaqah karangan Dr. Abdullah
Qadiri dijabarkan sebagai berikut :
1. Hendaknya orang-orang yang
berada dalam majelis berusaha serius. Meminimalisir senda gurau yang
berlebihan dan melampaui batas. Hal ini tidak dimaksudkan membuat suasana liqo
dalam majelis menjadi kering, kaku, dan hambar. Suasana dalam majelis
diharapkan tetap diwarnai kehangatan, kasih sayang dan keceriaan tanpa harus
terjerumus ke dalam gurauan-gurauan yang berlebihan.
2. Menjauhkan diri dari ta’assub
yang
telah menyebabkan orang-orang taqlid buta terjerumus ke dalamnya. Karena
tidak ada manusia yang sempurna atau ma’shum (bebas dari dosa) selain
Rasulullah SAW maka hendaknya kebenaran sajalah yang patut diikuti. Dan bila
ada perbedaan pendapat atau pandangan hendaklah dikembalikan kepada dalil Allah
dan Rasul-Nya yakni Al-Qur’an dan As-sunnah.
3. Membersihkan majelis dari
kebusukan ghibah (pergunjingan) dan namimah (menambah-nambahi) atau mencela
seseorang dan jama’ah tertentu. Alangkah baiknya bila orang-orang yang berada
di dalam majelis berusaha menjauhkan diri dari menodai orang lain dan sebaiknya
malah melakukan introspeksi muhasabah, merenungi kelemahan diri sendiri.
4. Pembahasan
kasus-kasus yang negatif yang dapat menghambat jalannya dakwah dilakukan dalam
rangka mengishlah/mengoreksi, memperbaiki dan bukan dalam rangka
mempermalukan atau menjatuhkan seseorang.
5. Menghargai dan tidak
menyia-nyiakan waktu. Di dalam majelis hendaknya senantiasa ditentukan daftar
skala prioritas dalam pengajuan masalah dan agenda acara yang akan dibicarakan.
Kemudian obrolan-obrolan yang iseng yang tidak berfaedah dan menghabiskan waktu
hendaknya dihindarkan.
Dalam
QS. Al Ahzab:70 Allah SWT berfirman: “Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah
perkataan yang benar”.
Dan
Rasulullah SAW juga bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT
dan hari akhir hendaknya berkata baik atau diam”.(HR Bukhari - Muslim)
Kemudian
bila ada yang mencerca kita, hendaknya kita tidak terdorong untuk membalasnya.
Sebab cercaan-cercaan tersebut justru mengungkapkan kebaikan kita.
Secara
lebih rinci dan praktis, Adab dalam Majelis juga dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Memberi salam tatkala masuk atau
meninggalkan majelis. Rasulullah SAW menyuruh kita untuk senantiasa berwajah ceria
dan menyebarkan salam. Pepatah mengatakan datang tampak muka, pergi tampak
punggung. Jadi tidak menyelinap datang dan pergi tanpa salam.
2. Mengambil tempat yang masih
kosong. Hendaknya
tidak memaksakan diri ke depan atau berdesak-desakan. Sebaliknya, carilah
tempat yang masih kosong.
3. Tidak melangkahi bahu tamu lain untuk mengambil
tempat di depan yang masih kosong dan kita justru diminta untuk mengisi tempat
di depan.
4. Berkenalan dan bercengkrama
dalam majelis sebelum acara di mulai. Dalam Islam, adab mujamalah
(tegur sapa dalam rangka kesantunan) sangat dianjurkan. Bila acara belum
dimulai, hal itu dapat dilakukan untuk mempererat silaturahmi dan ukhuwwah.
5. Duduk di antara dua orang harus
meminta izin terlebih dulu. Bila ada dua teman kita yang sedang duduk berdekatan,
hendaknya kita tidak langsung duduk di tengah-tengahnya tanpa seizin mereka
berdua.
6. Hindarkan bergurau berlebihan. Keceriaan,
kehangatan dan canda tawa memang perlu dihadirkan dalam majelis namun bukan
berarti harus melampaui batas.
7. Diam dan mendengar serta
menyimak lawan bicara yang sedang berbicara. Memang jauh
lebih sulit untuk menjadi pendengar yang baik ketimbang pembicara yang baik.
Tetapi hendaknya kita berusaha diam dan sungguh-sungguh memperhatikan lawan
bicara kita.
8. Mematuhi arahan pembawa acara. Agar majelis
berjalan tertib sesuai dengan agenda acara, maka setiap peserta hendaknya
mematuhi arahan pembawa acara.
9. Berusaha hadir ke majelis sesuai
dengan syarat yang ditetapkan (waktu, pakaian, dan persiapan
lainnya). Hadir tepat waktu dengan pakaian yang sesuai dan persiapan memadai
sangat diperlukan bila kita memasuki sebuah majelis.
10. Menjaga pandangan dari yang
haram. Baik peserta
laki-laki maupun perempuan hendaknya menjaga pandangan dan kesantunan.
11. Hormati wanita yang melintasi
hadirin laki-laki. Hendaknya dihindari perbauran dan saling menggoda terutama
bila peserta wanita melintasi laki-laki.
12. Memulai majelis dengan memuji
Allah serta
membacakan ayat-ayat-Nya dan ditutup dengan do’a kafarat majelis.
Di dalam sebuah majelis, tentu saja setiap peserta
diharapkan aktif berbicara menuangkan ide, gagasan, pendapat atau mengkritisi
dan memberikan pendapat pada gagasan yang dilontarkan oleh orang lain.
Namun
agar pembicaraan dalam majelis berjalan dengan baik, lancar mencapai target dan
tetap dalam kerangka ibadah yang diridhai dan diberkahi Allah, perlu kiranya
diperhatikan bagaimana adab berbicara dalam Islam.
Adaabul Hadits
(Adab Berbicara)
Berbicara
adalah hal yang sangat manusiawi atau fitrah insaniyah. Sebagai ajaran yang syamil
dan mutakamil (komprehensif dan utuh), Islam juga sangat memperhatikan
dengan lisan sehingga memberikan arahan yang termaktub dalam adaabul hadits
(adab berbicara).
Dalam
sebuah hadits disebutkan bahwa lisan dapat membawa atau menyebabkan seseorang
masuk surga atau neraka. Dan di hadits lainnya diingatkan bahwa setiap anak
cucu Adam akan diminta pertanggung jawaban atas perkataan-perkataannya, baik
yang sengaja maupun tidak.
Manfaat adab dalam berbicara
1. Bisa
menikmati kondisi diam sebagaimana Rasulullah SAW mencontohkan kepada umatnya,
karena segala perkataan Rasul adalah bernilai dzikir dalam pengertian yang
luas. Bila beliau berbicara, maka bicaranya dzikir dan bila beliau diam,
diamnya adalah dalam rangka berfikir.
2. Rasulullah
SAW bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah
berkata yang baik atau (lebih baik) diam”.
3. Bila
kita biasa mematuhi adab berbicara, maka kita akan memiliki kemampuan
menasehati secara baik. Karena jika terlalu mengumbar lisan, perkataan dan
nasehat kita membekas atau memberi kesan mendalam terhadap orang yang kita
nasehati, hendaknya kita senantiasa menjaga shalat lail, shaum sunnah,
tadarrus Al-Qur’an dan shalat sunnah rawatib.
4. Terhindar
dari menjadi ulama yang su’ (ulama yang buruk). Penampilan ulama su’ ini
terkesan alim, islami namun ternyata di dalamnya busuk, sesat dan menyesatkan.
dalam QS. Ash-Shaff ayat 2-3, Allah mengingatkan dan mengancam orang-orang yang
tidak memiliki kesesuaian antara kata dan perbuatan
Agar bisa
meraih manfaat tersebut, seorang Muslim harus mematuhi adab-adab berbicara,
yakni :
1. Wadih. Bila kita berbicara hendaknya kata-kata kita wadih
alias jelas, tegas, lugas dan mudah dicerna atau difahami. Hadits dari Aisyah
r.a: “Adalah kata-kata Rasulullah, kata-kata yang jelas dan mudah difahami oleh
orang yang mendengar di sekitarnya”. Apalagi tujuan komunikasi yang utama
adalah memberikan pengertian atau kefahaman kepada orang yang diajak berkomunikasi
Rasulullah SAW selalu mencontohkan bagaimana berbicara dengan wadih,
sampai-sampai sahabat-sahabat bisa menghitung kata-kata yang disampaikan
beliau.
2. Sederhana dan tidak
difasih-fasihkan. Hendaknya seorang Muslim berbicara dengan bahasa yang sederhana,
wajar tidak dilebih-lebihkan atau sok fasih. Seyogyanyalah kita melihat siapa
orang yang kita ajak bicara apakah seorang yang terdidik atau bukan. Rasulullah
SAW bersabda: “Berbicalah kepada manusia sesuai dengan kadar intelektualitas
mereka”.
3. Menghindari pengulangan
pembicaan yang bisa menimbulkan kejenuhan. Sahabat Nabi, Abdullah bin
Mas’ud biasa memberikan taushiyah atau nasehat setiap hari kamis,
sehingga sahabat yang lain pernah berkata padanya: “Hai Abu Abdurrahman,
seandainya saja engkau bisa memberi nasehat setiap hari, niscaya kami akan
senang”. Namun Ibnu Mas’ud malah menjawab, kami hanya memberikan nasehat
sekali-sekali saja, karena Rasulullah juga hanya sekali-sekali saja memberi
nasehat. Pada saat kami berada di dalam majelis.
4. Kata-kata yang digunakan
hendaknya hanya kata-kata yang baik dan bernilai ibadah: Hindarilah
kata-kata yang bersifat laghwi (sia-sia / tidak bermanfaat). Dalam
hadits disebutkan oleh Rasulullah SAW: “Min husnil Islamil ma’i tarku ma laa
ya’ nihi”.(HR. Tirmidzi). Termasuk di dalam kebaikan keislaman seseorang,
maka ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna, termasuk kata-kata laghwi.
Yang termasuk kategori kata-kata baik adalah salam, tegur sapa, nasehat,
kata-kata yang memberi semangat, menghibur dan menghindari kata-kata laghwi (QS
23:3) sebagai ciri-ciri orang yang beriman.
Di
dalam majelis selain ada yang berbicara tentu saja harus ada yang menjadi
pendengar, karena itu selain adaabul hadits dibutuhkan pula adaabul
istima’.
Dalam
tubuh manusia boleh dibilang telingalah organ yang paling awal berfungsi dan
kelak organ ini pula yang paling terakhir berhenti berfungsi.
Sahabat
Nabi SAW, Abu Darda r.a pernah mengeluarkan kata-kata bijak: “Hendaknya kita
belajar dari organ-organ tubuh yang diberikan Allah kepada kita. Mengapa Ia
memberi kita dua telinga dan satu mulut, itu artinya kita harus lebih banyak
mendengar ketimbang berbicara”.
Dan
memang ternyata jauh lebih sulit menjadi pendengar yang baik daripada pembicara
yang baik. Bahkan kadang-kadang kita menemui bahwa dalam satu majelis, ada
orang-orang yang berbicara pada saat yang bersamaan dan tidak mau saling
mendengar satu sama lain.
Karena
itu penting bagi kita belajar mendengar. Ada
saat-saat berbicara, tetapi ada juga saat-saat mendengar, sehingga penting bagi
kita untuk mengetahui apa-apa saja yang termasuk adab mendengar dalam
perspektif Islam:
1. Diam dan mendengarkan dengan
baik dan seksama, maksudnya kita harus tahu kapan saat berbicara dan kapan
saat diam dan mendengarkan. Bila sedang terjadi pembicaraan hendaknya kita
berlaku santun, mendengarkan dan menyimak dengan baik dan seksama. Hendaknya
kita tidak mengobrol dengan sesama pendengar lainnya.
2. Tidak boleh memotong
pembicaraan. Bila memang penting bagi kita karena ada hal yang penting
yang harus diinformasikan atau dikoreksi, hendaknya kita meminta izin dengan
mengacungkan jari lebih dulu dan meminta maaf, bila tidak diizinkan hendaknya
kita catat untuk kita tanyakan atau sampaikan setelah pembicara menyelesaikan
uraiannya.
3. Menerima dan menghargai
pembicaraan orang lain serta tidak meninggalkannya di saat selama isinya dalam
rangka ketaatan pada Allah SWT, walaupun ada yang membosankan.
4. Tidak menepiskan pembicaraan
orang lain walaupun
kita sudah mengetahuinya selama tidak ada yang salah dalam kata-kata tsb. Atha’bin
Rabah pernah diberitahu informasi oleh seseorang sementara hal itu sebenarnya
sudah diketahui oleh Atha’ sejak sebelum orang itu lahir. Namun Atha’ tetap
mendengarkan dengan penuh perhatian.
5. Tidak menunjukkan pada hadirin
bahwa kita yang paling atau lebih banyak tahu. Sehingga
misalnya sering berceletuk, berkomentar yang mengganggu, kecuali bila memang
ditanya atau dirasakan sangat perlu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar