Senin, 19 November 2012

Tahun Baru Semangat Baru

TAHUN BARU SEMANGAT BARU



Semangat dan gairah adalah perasaan yang sangat kuat yang dialami oleh setiap orang, antara semangat yang dialami dalam masyarakat secara umum dan semangat yang dibicarakan dalam al-Qur’an kepada manusia.
Semangat, dalam pengertian umum, digu­nakan untuk mengungkapkan minat yang menggebu dan pengorbanan untuk meraih tujuan, dan kegigihan dalam mewujud­kan­nya. Apakah penting atau tidak, setiap orang punya tujuan yang ingin dia raih sepanjang hidupnya. Antusiasme, yang sering ditujukan untuk keuntungan material, juga mengemuka ketika nafsu keduniaan dibicarakan. Sebagian orang berusaha untuk menjadi kaya, untuk memiliki karir yang cemerlang atau jabatan yang prestisius, sementara yang lain berusaha untuk tampil lebih unggul atau untuk meraih prestise, penghormatan, dan pujian.
Namun, semangat sebagian besar orang tidak bertahan seumur hidup karena tidak punya landasan yang kuat. Sering kali tidak ada tujuan khusus yang akan mempertahan­kan semangat dalam semua keadaan dan memberikan kekuatan kepada mereka. Satu-satunya orang yang tidak pernah kehilangan semangat di hati mereka sepanjang hidup  adalah orang-orang beriman, karena sumber semangat mereka ialah keimanan kepada Allah dan tujuan utama mereka ialah mem­per­oleh keridhaan Allah, rahmat-Nya dan surga-Nya.

Sumber Semangat Orang-orang Jahiliah?

Kebodohan biasanya dipahami sebagai tak berpendidikan dan tak berbudaya. Namun, orang-orang bodoh yang saya maksud adalah mereka yang bodoh me­ngenai agama Islam, mengenai kebesaran dan Sifat-sifat Allah yang menciptakan mereka, dan mengenai al-Qur’an yang telah diwahyu­kan untuk umat manusia. Allah SWT, mendefinisikan orang-orang bodoh sebagai­mana mereka “agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai.” (QS. Yasin: 6).
Kehidupan orang-orang yang lalai dari al-Qur’an dan tidak mengetahui hakikat kehi­dupan dunia, kebenaran tentang mati, dan kenikmatan surga dan siksa neraka setelah mati, adalah cocok dengan kebodohan mereka. Akibatnya, masalah-masalah yang membuat mereka merasa bahagia, bersemangat dan bergairah didasarkan pada keyakinan yang salah. Mereka yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan ke­hi­dupan dunia telah menipu mereka.” (QS. Al-A‘raf: 51).

Sebagaimana ditunjukkan dalam ayat di atas, orang-orang dalam masyarakat jahiliah tertipu oleh kehidupan dunia ini. Meskipun tahu mengenai sifat kehidupan dunia yang singkat dan tidak sempurna, mereka lebih menyukai kehidupan yang sementara ini daripada kehidupan abadi di akhirat, karena mereka merasa lebih mudah untuk memper­oleh kesenangan dunia dan ragu mengenai kehidupan akhirat : “tetapi kamu memilih kehidupan duniawi Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS, Al A’la : 16-17).

Apa yang digarisbawahi di sini ialah, bahwa meskipun sebagian besar orang tahu bagai­mana menye­lesai­kan suatu tugas dengan sema­ngat dan gairah, mereka hanya akan melakukannya jika tugas itu sesuai dengan kepentingan mereka. Mereka tidak memper­lihatkan ambisi yang sama untuk sesuatu yang akan mendatangkan ridha Allah, dan mem­per­lihatkan ketidak­mau­tahuan jika ke­untung­an duniawi tak bisa diharapkan.
Konsep semangat dalam masyarakat jahi­liah terlihat dalam kegairahannya dalam urusan keduniaan. Orang-orang mungkin mengalami gejolak minat dan semangat terha­dap masalah tertentu dan kemudian suatu hari perasaan ini lenyap dengan tiba-tiba. Dalam masyarakat jahiliah hampir semua orang meluncurkan berbagai proyek dengan antu­sias. Namun, mereka mening­galkan proyek itu tak lama kemudian, hanya karena jenuh dan malas untuk melanjutkan.
Namun, orang-orang beriman, yang ter­libat dalam perbuatan baik dan membantu orang lain sebagai alat untuk memperoleh ridha Allah, tidak pernah kehilangan sema­ngat mereka. Menghadapi kesulitan tidak akan membuat mereka meninggalkan cita-cita mereka. Sebaliknya, karena tahu bahwa ada­nya kesulitan-kesulitan menjadikan pekerjaan semacam itu lebih prestisius di mata Allah, mereka memperoleh kesenangan dan merasa­kan semangat yang lebih besar.

Sumber Semangat Orang-orang Beriman :
Semangat dan gairah orang-orang beriman sangat berbeda dari konsep yang banyak dianut masyarakat jahiliah, yang didasarkan pada kepentingan. Kecintaan orang-orang beriman kepada Allah dan ketaatan mereka kepada-Nya adalah penyebabnya. Mereka tidak merasa terikat dengan kehidupan dunia ini seperti para anggota masyarakat jahiliah, tetapi terikat dengan Allah, Yang Maha Penga­sih, yang menciptakan mereka dari bukan apa-apa, dan memberi mereka berbagai sarana. Alasan yang terpenting ialah bahwa orang-orang beriman mengevaluasi peristiwa-peristiwa dengan kesadaran yang jernih. Mereka sadar bahwa Allah menjaga kehidup­an seseorang setiap saat, bahwa Dia melin­dungi semua makhluk, dan bahwa semua makhluk bergantung kepada-Nya. Disebab­kan oleh cinta mereka dan ketaatan mereka kepada Allah, mereka berusaha keras untuk memperoleh keridhaan-Nya sepanjang hidup mereka. Hasrat untuk memperoleh ridha Allah merupakan sumber terpenting sema­ngat dan kegembiraan bagi orang-orang beriman. Cita-cita untuk memperoleh ridha Allah dan mencapai surga menjadi sumber energi dan semangat dalam diri orang-orang beriman. “Sesungguhnya orang-orang mukmin hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka demi membela agama Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat: 15).

Penjelasan ini menunjukkan bahwa sema­ngat orang-orang beriman bersemayam dalam hati. Hal ini disebabkan karena perjuangan untuk mendukung nilai-nilai mereka berlang­sung seumur hidup dan hanya dito­pang dengan semangat yang bersumber pada ke­iman­an. Kegigihan orang-orang beriman dalam usaha mereka yang terus menerus juga dinyatakan oleh rqsulullah SAW: “Per­buatan yang paling dicintai Allah adalah perbuatan yang dilakukan dengan istiqa­mah.” (HR. Bukhari).
Faktor lain yang membuat semangat orang-orang beriman tetap kuat dan segar adalah rasa penghargaan yang disertai dengan kerinduan dalam hati mereka, yang mereka alami sepanjang hidup: “Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A‘raf: 56).

Karena alasan ini mereka takut akan hukuman Allah dan terus-menerus berusaha untuk menyem­pur­nakan amal. Semen­tara itu, mere­ka tahu bahwa melalui gairah dan ketulusan, mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh ridha Allah, cinta-Nya dan rahmat-Nya. Mereka mengalami ketakut­an dan harapan sekaligus; mereka bekerja keras tetapi tidak pernah merasa usaha mereka cukup dan tidak pernah menganggap diri mereka sempurna, sebagaimana dinyatakan dalam ayat: “Mereka takut kepada Tuhannya dan takut dengan hisab (perhitungan amal) yang buruk.” (QS. Ar-Ra‘d: 21).
Karena itu, mereka memeluk agama Allah dengan semangat besar dan melakukan usaha besar untuk kepentingan ini. Rasa takut kepada Allah menyebabkan mereka tidak lemah-hati atau lalai, dan perasaan ini mendu­kung semangatnya. Karena tahu bahwa Allah memberikan kabar gembira tentang surga bagi mereka yang beriman dan beramal saleh, sehingga mendorong mereka untuk terus ber­amal dan memperkuat komit­mennya.
Sebagaimana terlihat, konsep orang ber­iman tentang semangat sangat berbeda dari konsep masyarakat jahiliah. Dibandingkan dengan semangat kontemporer orang-orang kafir, semangat orang beriman merupakan luapan kegembiraan yang dipelihara oleh iman kepada Allah. Dia telah memberikan kepada orang-orang beriman kabar gembira tentang hasil dari semangat yang terus-me­nerus didalam al-Qur’an : “Dan sampaikanlah berita gembira kepa­da orang-orang mukmin, bahwa sesung­guh­nya mereka memperoleh karunia yang besar dari Allah.” (QS. al-Ahzab: 47).

Apa yang memberikan kekuatan kepada mereka yang “lebih dahulu” ialah ketaatan mereka kepada Allah dan kerendahan hati mereka di hadapan-Nya. Keimanan mereka yang tulus memberi mereka semangat yang besar untuk berlomba-lomba dalam memper­oleh ridha Allah. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa mereka yang berusaha dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri mereka akan diberi derajat yang tinggi di sisi Allah  swt : “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad demi membela agama Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing Allah men­jan­ji­kan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad di atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. Yaitu beberapa derajat daripada-Nya am­pun­an serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 95-6).

Mereka yang “pertengahan” adalah orang-orang yang lebih memilih jalan tengah daripada berusaha keras dengan hati dan jiwa mereka untuk memperoleh ridha Allah. Tak diragukan lagi, kondisi mereka di akhirat tidak akan sama dengan mereka yang lebih dahulu dalam beramal.
Di samping itu, Allah telah menyebutkan kelompok ketiga di kalangan orang-orang Islam: mereka yang tertinggal dalam hal gairah mereka untuk beramal. “Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan pertempuran).” (QS. An-Nisa’: 72).

Sebagaimana dinyatakan dalam ayat yang dikutip sebelumnya dari Surat Fathir, orang-orang semacam itu menganiaya diri mereka sendiri, dan keadaan mereka di akhirat akan mencerminkan perbedaan itu. Sementara mereka yang lebih dahulu dalam beramal akan memperoleh derajat tertinggi dalam pandangan Allah, tetapi mereka yang lalai akan melihat usaha mereka hilang kecuali jika mereka bertobat dan mengganti kelalaiannya. Dua ayat dari al-Qur’an dapat dikutip sebagai contoh tentang masing-masing keadaan : (QS. At-Taubah: 20) dan (QS. Al-Ahzab: 19).
Wallahu’alam Bishowab
Abu MR LC


Minggu, 15 Juli 2012


Memburu SURGA
 “Sesungguhnya orang-orang yang berbakti itu (Al-Abrar) benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga). Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (Al-Muthaffifin: 22-26)
Merupakan kecenderungan manusia bahwa ia ingin unggul atas orang lain dan berada pada posisi yang lebih tinggi atau lebih baik dalam kehidupannya. Jika kecenderungan ini tidak diarahkan, maka manusia cenderung melampiaskannya dalam urusan dunia dengan menghalalkan segala cara. Ayat ini ingin memberi gambaran tentang semangat berlomba yang benar yang ditunjukkan oleh orang-orang Abrar dalam urusan akhirat. Makanya secara korelatif, ayat di atas merupakan jawaban dan arahan Allah agar potensi dan semangat untuk mengungguli orang lain hendaknya diarahkan pada urusan akhirat. Dimana sebelumnya di awal surah Al-Muthaffifin, Allah menggambarkan semangat berlomba-lomba yang ditunjukkan oleh orang-orang yang curang dalam urusan dunia sampai mereka tega berlaku culas dan menzhalimi orang lain demi meraih keuntungan yang besar. Allah mengancam perilaku mereka dengan kecelakaan yang besar di akhirat kelak dan mendapat gelar buruk Al-Muthaffifin. “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (Al-Muthaffifin: 1-3)
Berdasarkan analisa maknanya, ayat ini menurut Ibnu Katsir senada dengan dua ayat lainnya dalam Al-Qur’an, yaitu firman Allah yang bermaksud, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar” (Al-Ma’idah: 119), dan firman Allah, “Sesungguhnya ini benar-benar kemenangan yang besar. Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja.” (Ash-Shaffat: 60-61). Kedua ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan dan kemenangan yang besar adalah dengan meraih surga Allah SWT. Dan hanya untuk meraih penghargaan itu, manusia memang diperintahkan untuk berlomba-lomba.
Menurut Ath-Thabari, sifat berlomba dalam urusan akhirat merupakan sifat puncak dan tertinggi dari orang-orang yang berbakti (Al-Abrar). Ia menjelaskan dalam tafsirnya, “Dan untuk meraih kenikmatan yang dicapai oleh orang-orang Abrar seperti yang digambarkan dalam ayat ini, hendaklah manusia berlomba-lomba. Dan berlomba tentunya dalam hal-hal yang bernilai dan berharga, bukan dalam urusan yang kecil atau sepele. Dan itulah asal arti kata “Al-Munafasah” yang berasal dari kata “nafis” yaitu hal yang bernilai dan berharga dan sangat menarik dan banyak dikejar oleh manusia. Makanya Muhammad Abduh menarik kesimpulan bahwa untuk kenikmatan yang tidak terhingga tersebut manusia sepatutnya tidak boleh mengalah dan harus berusaha lebih baik dan lebih dahulu dari orang lain.
Berdasarkan analisa bahasa menurut Al-Alusi, didahulukannya objek “Dan untuk yang demikian itu” atas perintah berlomba-lomba adalah untuk menarik perhatian atau sebagai batasan bahwa hanya untuk urusan akhirat hendaknya orang-orang itu berlomba-lomba, tidak untuk urusan yang lainnya. Apalagi perintah dalam ayat ini – menurut Ibnu Asyur – menggunakan “Lamul Amr” (huruf lam yang menunjukkan perintah) yang tidak digunakan kecuali untuk perintah yang sangat dituntut dan dianjurkan.
Secara hukum berdasarkan objeknya menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, berlomba dapat dibagi menjadi tiga:
  • pertama, berlomba yang terpuji, yaitu dalam urusan amal ketaatan (akhirat);
  • kedua, berlomba yang tercela, yaitu dalam urusan kemaksiatan;
  • dan ketiga, berlomba yang dibenarkan, yaitu dalam hal-hal yang mubah.
Dan memang perintah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan merupakan benteng dari perilaku berlomba-lomba dalam kemaksiatan dan urusan dunia, karena demikian kecenderungan manusia akan berlomba mengejar kenikmatan dunia yang menggiurkan seperti yang dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya, “Bukanlah kefaqiran yang sangat aku khawatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khawatir jika (kemewahan, kesenangan) dunia dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya sepertimana yang pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa sebagaimana mereka juga binasa karenanya.” (Bukhari dan Muslim)
Pada realitasnya menurut Sayyid Qutb, tidak ada kebaikan sedikitpun pada tindakan dan perilaku berlomba-lomba dalam usaha mengejar dunia, bahkan sebaliknya justru akan menimbulkan konflik, kerusakan dan huru hara di atas muka bumi ini. Sedangkan sebaliknya, berlomba-lomba untuk meraih apa yang disediakan Allah SWT akan mampu mengangkat dan membersihkan diri manusia. Karena bagaimananapun kenikmatan dunia itu hanya berlangsung sesaat dan sangat cepat sirna. Manakala apa yang ada di sisi Allah akan kekal dan berlangsung tanpa batas. “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 96)
Pada tataran aplikasinya, ayat di atas dan ayat yang semakna dengannya merupakan motivasi terbesar bagi para sahabat dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT sehingga mereka senantiasa berlomba dan ingin lebih dahulu melakukan kebaikan dibanding saudaranya yang lain. Sebut saja misalnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab ra. Ketika pada suatu hari Rasulullah SAW meminta para sahabatnya untuk menginfakkan apa yang dimilikinya dari harta, makanan dan senjata yang bisa dimanfaatkan dalam perang. Maka spontan Umar bin Khattab berkata kepada dirinya, “Demi Allah, saya akan mendahului Abu Bakar dalam kebaikan ini.” Umar yakin bahwa dirinya mampu menginfakkan lebih baik dari Abu Bakar. Kemudian ia membagikan hartanya menjadi dua bagian; satu bagian untuk keluarganya dan satu bagian lagi diserahkan untuk Rasulullah SAW. Rasulullah tersenyum bangga melihat perilaku sahabatnya dan memujinya. Namun tidak berapa lama kemudian, datanglah Abu Bakar dengan membawa seluruh hartanya. Rasulullah tersenyum bangga seraya bertanya kepadanya, “Lantas apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” Dengan yakin dan penuh tawakkal, Abu Bakar menjawab, “Saya tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” Demikianlah sikap orang-orang Abrar dari para sahabat terkemuka Rasulullah SAW. Allah memuji mereka dalam firman-Nya, “Dan orang-orang yang beriman paling dahulu, Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian.” (Al-Waqi’ah: 10-14). Demikianlah berlomba-lomba untuk meraih surga Allah adalah dengan bersegera melakukan kebaikan dan ketaatan, karena setiap muslim memang dituntut untuk berpacu membuka pintu-pintu kebaikan dan ketaatan kepada Allah SWT.
DR. Ahmad Asy-Syirbashi menuturkan tadabburnya terhadap ayat di atas dalam bukunya “Mausu’at Akhlaqul Qur’an”, bahwa sekarang ini manusia cenderung berbangga dan berlomba agar lebih kaya dari orang lain, lebih kuat, atau lebih tinggi kedudukannya daripada orang lain dan seterusnya. Mereka terus berbangga dan mengejar urusan duniawi dan hal-hal yang terbatas lainnya dengan penuh kesungguhan dan usaha yang maksimal. Padahal berbangga dengan hal-hal seperti ini sangat jauh dari kebenaran dan bertentangan dengan sikap orang-orang Abrar yang mendapat pujian Allah SWT dan diabadikan kisahnya untuk dijadikan teladan. Saatnya untuk menjadikan ayat di atas dan petunjuk Allah lainnya sebagai motivasi untuk berlomba meraih kenikmatan yang terbesar dengan ikut menjadi peserta yang terdepan dalam setiap ajang lomba kebaikan yang dianjurkan oleh Allah dan RasulNya. Semoga implementasi ayat tersebut di atas mewarnai setiap langkah kehidupan kita agar terhindar dari perlombaan meraih kenikmatan duniawi yang cenderung mengabaikan orang lain dan terkadang merampas hak-hak mereka. Wallahu a’lam bishowab
(dkwt)

Siapa Aku !
“……maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm [53] : 32 ).
      Mengetahui dan menyadari kesalahan adalah awal kebaikan. Sementara merasa benar terus adalah awal dari kehancuran. Kesalahan memang merupakan tabiat manusia, namun tidaklah bijaksana bila kita terus menerus melanggengkan kesalahan apalagi mewariskannya kepada anak dan keturunan terlebih lagi generasi bangsa ini, Allah swt mengingatkan kita untuk mawas diri :
“dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar “ ( QS. An Nisa [4] : 9 ).
      Ayat ini juga mengingatkan kita bahwa ada keterkaitan yang erat, antara kuat atau lemahnya generasi penerus bangsa ini, dengan ketakwaan dan kebenaran ucapan orang tua atau pembinanya. Oleh karena itu sepantasnyalah kita selalu mawas diri jangan sampai kita mewariskan keburukan kepada generasi kita. Yakni keburukan dari segala hal baik ucapan, pola fikir, akhlaq dan kebiasaan buruk lainnya.
      Hendaklah kita menjadi pribadi yang malu bila berbuat salah. Malu kepada Allah dan malu kepada orang-orang beriman. Tidak cukup sekadar mengetahui bahwa diri kita salah, tetapi kita begitu manja meminta permakluman dari Allah yang Maha Pengampun dan Maha Penerima Tobat. Yang harus kita lakukan bukan hanya menjauhi kesalahan-kesalahan yang besar dan fatal tetapi juga berusaha menghindarkan diri dari kekeliruan-kekeliruan kecil. Sebab apapun bentuknya bila kita sadar melakukan kesalahan tetap saja itu merupakan dosa.
      Saudaraku saya teringat,,, akan tulisan di media facebook dari seseorang yang menulis “kenapa kita harus mengulangi kesalahan yang sama ! padahal masih banyak kesalahan yang lain yang bisa kita coba ! “ Ungkapan ini memang singkat namun bisa berkonotasi buruk, saya katakan “kenapa mesti mencoba setiap kesalahan yang baru ? bukankah bisa belajar dari kesalahan orang lain, atau justru kita menghindari agar tidak berbuat salah seperti orang lain ! karena banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang memberikan pelajaran bagi kita, tentang orang-orag yang berbuat kesalahan, agar kita tidak mencontoh mereka untuk mengulangi kesalahan yang sama.
      Siapa pun kita pasti pernah terjatuh pada kesalahan. Tugas kita adalah memohon ampun dan bertobat kepada Allah. Untuk kesalahan pada sesama manusia tentu saja kita harus meminta maaf lebih dulu kepada mereka. Jangan gengsi untuk mengakui kesalahan. Jangan sampai kita berbohong untuk membela kesalahan kita. Apalagi kita berargumen untuk membela kesalahan tersebut dan meminta orang lain menganggap bahwa kesalahan kita adalah kebenaran, na’udzubillahi min dzalik
      Allah paling mengetahui tentang diri kita dan melebihi pengetahuan kita. Maka janganlah kita merasa diri kita bersih dan merasa diri paling benar. Kalaupun kita benar dan orang lain salah kita tidak boleh melecehkan kesalahannya. Kalau kita tidak ingin aib kita dibuka orang lain maka jangan buka aib orang lain. Meluruskan diri sendiri dan orang lain tidak perlu dengan cara membuka aib. Cukuplah kita meminta ampun kepada Allah dan melakukan langkah-langkah perbaikan yang lebih menjaga kehormatan diri dan orang lain.  Terkadang ada orang yang karena kesalahannya terlanjur dibeberkan menjadi malu dan bersikap antipati, bukan hanya kepada yang membeberkan tetapi juga kepada wadah di mana si pembeber aib bernaung. “Janganlah karena engkau orang jadi benci terhadap Islam”(Al Hadits). Kebenaran harus diperjuangkan dengan cara yang benar pula, al ghaayah laa tubarrirul wasiilah (tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara).
      Jadi masalahnya bukan tidak boleh mengungkap kesalahan orang lain, tapi bagaimana caranya agar pengungkapan itu tidak membawa dampak negative bagi yang bersangkutan: menghalanginya dari jalan Allah. Teruslah memperjuangkan kebenaran. Jantanlah mengakui kesalahan dan bijaksanalah dalam meluruskan kesalahan orang lain. Keberhasilan berawal dari kesadaran akan kesalahan, sehingga setiap pribadi senantiasa terus memperbaiki diri menuju kepada kesempurnaan.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” ( QS. Al Baqarah [2] : 208). Dan salah satu langkah-langkah Syaiton adalah menghembuskan aura-aura permusuhan di kalangan ummat Islam agar umat ini tak pernah akur, terlebih lagi membicarakan aib orang menjadi subur bak jamur di musim penghujan bahkan menjadi mata pencarian di beberapa kalangan infotaimen untuk mendapatkan uang dengan mengorek-ngorek kesalahan orang ! Astagfirullah.
      Saudaraku Allah swt memberikan rambu – rambu kepada kita didalam Al Qur’an :
“ (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”. ( QS. Ali Imron [3] : 134-135 ).
      Saudaraku… Sirah mencatat pengakuan seorang wanita Al Ghamidiyah yang telah terjatuh kepada perzinahan. Bukan hanya sekadar mengaku tetapi wanita tersebut ingin bertobat dan minta dirajam. Saat itu Rasulullah menyuruh wanita tersebut melahirkan dan menyusui dulu anak dari hasil perzinahan tersebut. Setelah si anak sudah disapih barulah dilaksanakan hukum rajam. Dalam peristiwa itu terucap dari lisan Rasul bahwa wanita tersebut dijamin masuk surga.
      Hikmah yang bisa kita petik dari kisah di atas adalah betapa dengan pemahaman yang seadanya saja seseorang berani mengakui kesalahannya. Maka sepantasnyalah mereka yang memiliki pemahaman yang dalam lebih bersikap kesatria mengakui kesalahannya. Tidak cukup sekadar mengakui kesalahan tetapi harus dilanjutkan dengan tobat, kembali kepada kebenaran. Bila mengakui kesalahan tetapi tetap berkubang di kemaksiatan bagaikan kuda nil yang berkubang di lumpur kotor dan bau. Bertobat berarti mau membersihkan diri, bersedia dihukum dan siap melakukan hal-hal yang dapat menghapus kesalahannya. Rajam adalah salah satu bentuk hukuman sekaligus penyucian. Dan tentu saja harapan utama yang ingin dicapai adalah keridhaan Allah dan surganya. Bagi yang berwenang untuk melaksanakan hukuman tentu harus bijaksana sebagaimana Rasul. Jangan jijik dan sinis mengetahui kesalahan orang lain. Hantarkan kesalahan orang menuju kepada tobatnya. Mengantarkan si salah untuk meraih surga. Bukan membuat dia putus asa, mengurung diri atau, na’udzubillahi min dzalik,  bunuh diri. Kalau kita ingin orang lain memaklumi kesalahan kita dan memberi kesempatan kita untuk berbenah diri maka kita juga harus mau memaklumi kesalahan orang lain dan memberinya kesempatan bertobat.
       Berkenaan dengan sosialisasi penjatuhan sanksi seyogyanya saudaraku yang budiman memandangnya sebagai sarana bersuci. Inilah kesempatan untuk lebih menyelami arti haasibuu anfusakum qabla antuhaasabuu. Kita bahkan harus merasa dibantu oleh saudara-saudara kita lewat program tersebut. Tentunya program ini berlaku bagi semua. Tidak ada yang kebal hukum. Fatimah pun kalau mencuri pasti dipotong tangannya oleh Rasul. Maka di manapun posisi kita dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam struktur yayasan misalnya, kita harus berani mengakui kesalahan, dan tentu saja juga siap dikenakan sanksi. Namun jangan kaget bila ada orang yang kita hormati atau kita kagumi suatu ketika juga terkena sanksi. Itu manusiawi. Bahkan itu menunjukkan kematangan tokoh kita tersebut (mau mengakui kesalahannya). Semua benda yang tidak steril (bukan nabi) pasti berdebu, pasti punya salah dan dosa. Maka jangan kita biarkan debu itu melekat, mari sama-sama bersihkan dengan semangat bersuci diri ; “ sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya dan merugilah orang yang mengotorinya” ( QS. Asy Syams [91] : 9-10 ).
Betapa kita menyadari seringkali kita gagal untuk terus bertahan dalam kebaikan. Mungkin itu disebabkan karena kita terlalu menganggap remeh kesalahan atau terlalu  memanjakan diri dengan sifat Allah yang Maha Pengampun. Dengan penjatuhan sanksi kita terbiasa untuk lebih waspada terhadap kesalahan. Hukuman manusia masih begitu ringan. Terkadang masih terbalut dengan rasa kasihan dan permakluman. Semoga dengan terbiasa menjaga diri agar terhindar dari penjatuhan sanksi insya Allah akan mengantarkan kita untuk terbiasa menghindari dosa agar selamat dari azab Allah nanti di yaumil akhir.
….maka barang siapa yang dijauhkan dari siksa neraka dan dimasukkan ke dalam surga sungguh sangat beruntunglah ia……( QS. Ali Imron [3] : 185 ).
Wallohu’alam bishowab.  (dkwt)

Mengkaji Ulang Valentine's Day
Oleh: Feri Firmansyah, Lc.

Boleh jadi tanggal 14 Februari, merupakan hari yang sangat dinanti-nanti oleh anak-anak muda, karena di samping mendatangkan "keindahan" juga merupakan waktu yang tepat untuk mencari, menukar dan mengganti pasangan. Kedengarannya memang seperti barang saja yang bisa ditukar, diganti dan dicari dengan mudah, tapi itulah kenyataannya. Sikap orang (termasuk sebagian kaum muslimin) terhadap moment tahunan yang biasa kita kenal dengan hari kasih sayang atau Valentine’s Day.
Bahkan disebagian tempat, untuk merayakan hari kasih sayang ini, mereka mengadakan hiburan-hiburan malam dengan acara yang super wah. Tidak tanggung, seolah tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada, acara Hari Kasih Sayang ini digelar semalam suntuk mulai dari jam pulang kantor sampai jam masuk kantor kembali. Innalillah wa nastaghfiruh.
Anehnya, apabila ditanya bagaimana sejarah dan mengapa disebut Hari Valentine atau Hari Kasih Sayang, umumnya membisu, dan tidak tahu. Seolah itu adalah warisan leluhur yang harus dirayakan dan diperingati secara besar-besaran. Apalagi bagi seorang muslim, mengetahui akar sejarah adanya Valentine’s Day merupakan sebuah keniscayaan, agar kita tidak terjerumus pada amal yang bertentangan dengan syariat.
Tidak ada sejarah yang seragam dan jelas tentang asal muasal Valentine's Day ini. Semua buku dan sejarah memberikan cerita yang berlainan. Beberapa sumber mengatakan bahwa Valentine's Day ini merupakan warisan dari upacara perayaan Orang-orang Romawi Kuno yang disebut dengan Lupercalia. Para ahli lainnya mengaitkan kejadian ini dengan kisah terbunuhnya beberapa Saint (santo) yang terjadi di gereja Kristen. Masih dari sumber yang lain, kejadian ini erat kaitannya dengan kepercayaan orang-orang Inggris kuno bahwa pada tanggal 14 Pebruari lah burung-burung jantan memilih pasangannya. Valentine's Day ini besar kemungkinan berasal dari penggabungan ketiga sumber di atas ditambah dengan kepercayaan bahwa musim semi adalah waktu yang tepat untuk para pejatuh cinta"
Keberagaman cerita seputar Valentine's Day ini membuat orang-orang Kristen sendiri mempertanyakan kembali keabsahan cerita ini. Bahkan, tidak sedikit dari para pendeta Kristiani yang menolak dan melarang penganutnya untuk merayakan hari ini karena dinilai mengikuti tradisi dan upacara agama lain yakni agama paganisme (penyembah berhala) Romawi.
Menurut cerita yang lebih terpercaya, perayaan Valentine's Day ini sesungguhnya berawal dan bersumber dari perayaan pada masa Romawi Kuno yang sering disebut dengan Perayaan Lupercalia. Perayaaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno yang dilakukan selama 6 hari sejak tanggal 13-18 Februari. Perayaan dua hari pertama, khusus dipersembahkan untuk Dewi Cinta (queen of feverish love) yang bernama Juno Februata. Pada perayaan dua hari ini, nama gadis-gadis ditulis dalam sehelai kertas kemudian dilipat dan digulung untuk kemudian dimasukkan ke dalam kotak yang dihiasi dengan bunga dan wangi-wangian perangsang syahwat.
Para pemuda yang hendak mencari pasangan atau mengganti pasangan dengan yang baru, berkumpul sambil mengundi dan mengocok nama-nama gadis tersebut. Setiap nama gadis yang keluar dari undian tersebut, harus menjadi pasangannya selama satu tahun sebagai tempat untuk bersenang-senang dan hura-hura. Pada tanggal 15 sampai 18 Februari, upacara perayaan selanjutnya ditujukan untuk memohon perlindungan Dewa Lupercalia (dewa ini diakui sebagai dewa penyelamat dari gangguan roh jahat dan binatang buas) dari gangguan srigala. Pada upacara ini, para pemuda saling memecut dengan kulit-kulit binatang buas sebagai symbol upaya untuk menjauhkan diri dari bahaya binatang buas dan roh-roh jahat. Para gadisnya juga tidak mau ketinggalan, mereka sama-sama berebut untuk dipecut oleh kulit binatang tersebut karena diyakini akan memberikan kesuburan dan keturunan yang gagah dan kuat. Semakin banyak darah yang keluar dari tubuh si gadis yang dipecut tadi, semakin besar kemungkinan akan melahirkan keturunan bertitiskan Dewa.
Dalam buku The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity disebutkan, ketika Kristen Katolik memasuki kota Roma, upacara Lupercalia tersebut tetap dirayakan dan diadopsi hanya kemudian diwarnai dengan nauansa-nuansa Kristen. Di antaranya, nama-nama gadis dalam upacara tersebut diganti dengan nama-nama Paus dan Pastor. Orang yang berjasa dalam mewarnai upacara ini adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I. Untuk lebih mengkristalkan nuansa Kristennya, sebagaimana dipaparkan dalam The World Book Encyclopedia,  pada tahun 496 M, Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini sebagai Hari Resmi Perayaan Kudus Gereja yang disebut dengan Saint Valentine’s Day. Nama ini diambil untuk mengenang jasa Saint atau Santo Valentine yang kebetulan meninggal pada tanggal 14 Februari.  Saint atau Santo dalam tradisi Kristen berarti martyr atau dalam istilah Islam Syahid, syuhada, orang yang meninggal dalam memperjuangkan kebenaran. Saint atau Santo ini juga sekaligus gelar yang diberikan khusus kepada orang-orang yang rajin berderma dan membagi-bagi haidah.
Sedangkan kata Valentine sendiri ada yang mengartikan dengan, gigih dan Maha Kuasa. Namun, menurut para pakar bahasa, kemungkinan besar nama Valentine ini diambil dari bahasa Prancis Normandia, galantine yang berarti cinta (galant).
The Catholic Encyclopedia Vol. XI menyebutkan, dalam tradisi Kristen Katolik dikenal ada 3 nama Valentine yang meninggal pada tanggal 14 Februari, salah satu di antaranya diceritakan meninggal pada masa Romawi Kuno  dan Valentine inilah yang dinilai sebagai cikal bakal perayaan Hari Kasih Sayang yang marak belakangan ini.
Konon kejadian tersebut terjadi ketika Raja Romawi Kuno dipegang oleh Kaisar Claudius II. Kaisar ini terkenal kejam, bengis, jahat dan tukang perang. Demi menjaga stabilitas prajuritnya agar tetap prima, Kaisar melarang semua tentara mudanya untuk menikah. Menurutnya, pernikahan adalah sumber kekalahan karena prajuritnya menjadi loyo dan tidak kuat. Di tengah ancaman dan amar Kaisar Claudius II ini, ada seorang Pasteur (yang namanya tidak pernah disebutkan) yang secara sembunyi-sembunyi menikah-nikahkan prajurit mudanya dengan para gadis. Hal ini dilakukan untuk memperkecil tingkat "perzinahan" yang merebak dimana-mana.
Suatu hari, Kaisar mengetahui pekerjaan Pasteur ini. Tanpa berpikir panjang, akhirnya Pasteur tersebut dihukum gantung di depan ribuan prajurit dan masyarakat. Peristiwa penggantungan tersebut terjadi tepat pada tanggal 14 Pebruari tahun 269 M. Mengingat kebaikan dan jasanya dalam mengawin-ngawinkan pemuda-pemudi inilah kemudian Pasteur tersebut diberi gelaran Santo Valentine yang berarti Dermawan Asmara / Cinta. Demikian kisah yang ditulis dalam The World Book Encyclopedia. Dari sinilah kemudian setiap tanggal 14 Februari dikenal dengan sebutan Valentine's Day.
Itulah sekilas sejarah tentang apa yang dikenal sekarang dengan Valentine's Day. Dari uraian di atas, paling tidak dapat kita simpulkan hal-hal berikut:
1.        Keberadaan Valentine's Day masih diperbincangkan keabsahannya. Hal ini mengingat tidak ada cerita yang disepakati oleh setiap sejarawan Kristen
2.        Kalaupun Valentine's Day itu ada, dia pada awalnya adalah tradisi upacara penyembahan Dewa yang dilakukan oleh orang-orang Romawi Kuno yang dulu dikenal dengan nama Upacara Perayaan Lupercalia. Kemudian ketika Kristen Katolik masuk ke Roma, diganti dengan nama Perayaan Valentine.
3.        Ikut merayakan Hari Valentine, hakikatnya mengikuti sekaligus mengakui Santo Valentine, seorang pendeta Kristen.
4.        Tidak sedikit pendeta-pendeta dan gereja-gereja Kristenpun yang melarang ummatnya untuk merayakan acara ini karena dinilai telah keluar dari ajaran Kristus seperti yang dilakukan gereja-gereja di Slovenia.
Kini, bagaimana Islam memandang hal ini? Sesungguhnya, tanpa disebutkan jawabannya pun, anda sudah dapat mengambil kesimpulan sendiri. Yang jelas, bila Hari Valentine ini hendak dilihat dari sisi Hari Kasih Sayangnya, maka Islam sesungguhnya telah mengatakan dan mengajarkan ummatnya untuk senantiasa memiliki rasa kasih sayang setiap saat dan detik, bukan setahun sekali. Bahkan, bukan hanya itu, kasih sayang yang diajarkan Islam bukan semata berkaitan dengan sesama manusia, tapi juga dengan binatang sekalipun.
            Bukankah dalam sebuah hadits dikatakan, bahwa ada seorang wanita masuk neraka gara-gara mengurung kucing, tidak dikasih makan sehingga mati. Sebaliknya, ada seorang laki-laki masuk surga lantaran menolong dan memberi minum anjing yang kehausan di tengah padang pasir.
            Dalam hadits lain Rasulullah mengatakan bahwa seorang muslim dengan muslim lainnya dalam berkasih sayang dan saling pedulinya harus seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka anggota tubuh lainnya pun akan merasa sakit pula.
            Dalam hadits lain juga disebutkan, bahwa belum sempurna iman seseorang sehingga dia mencintai dan menyayangi saudaranya sebagaimana dia menyayangi dirinya sendiri. Kewajiban cinta kasih dan sayang ini dalam ajaran Islam bukan setahun sekali, tapi setiap saat dan detik.
            Lebih tegas lagi Rasulullah bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya: "Barangsiapa yang menyerupai sebuah kaum, kelompok, maka dia termasuk ke dalam kelompok mereka". (HR Turmudzi).
Sejarah dan pandangan islam terhadap Valentine’s Day sudah jelas. Apalagi kalau dilihat secara nilai, Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran sikap dan semangat. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih.
            Alih-alih mendekatkan diri pada nilai-nilai syariat, justru realita yang ada semangat Valentine’s Day adalah untuk menjauhkan kaum muslim dari nilai-nilai Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Wallahu’alam bishshawab.

Kamis, 07 Juni 2012


iS tHe best
Khairun naasi anfa’uhum linnaas.”

Ada hadits pendek namun sarat makna dikutip Imam Suyuthi dalam bukunya Al-Jami’ush Shaghir. Bunyinya, “Khairun naasi anfa’uhum linnaas.” Terjemahan bebasnya: sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain.

Saudaraku yang budiman….. Derajat hadits ini ini menurut Imam Suyuthi tergolong hadits hasan. Syeikh Nasiruddin Al-Bani dalam bukunya Shahihul Jami’ush Shagir sependapat dengan penilaian Imam Suyuthi. Adalah aksioma bahwa manusia itu makhluk sosial. Tak ada yang bisa membantah. Tidak ada satu orangpun yang bisa hidup sendiri, semua saling berketergantungan dan  saling membutuhkan. Karena saling membutuhkan, pola hubungan seseorang dengan orang lain adalah untuk saling mengambil manfaat. Ada yang memberi jasa dan ada yang mendapat jasa. Si pemberi jasa mendapat imbalan dan penerima jasa mendapat manfaat. Itulah pola hubungan yang lazim, adil. Jika ada orang yang mengambil terlalu banyak manfaat dari orang lain dengan pengorbanan yang amat minim, naluri kita akan mengatakan itu tidak adil. Orang itu telah berlaku curang. Dan kita akan mengatakan seseorang berbuat jahat ketika mengambil banyak manfaat untuk dirinya sendiri dengan cara yang curang dan melanggar hak orang lain.

Saudaraku…. Begitulah hati sanubari kita, selalu menginginkan pola hubungan yang saling ridho dalam mengambil manfaat dari satu sama lain sebagai mana Alloh mengingatkan kita di dalam Al-Qur'an, “..dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya” QS. Al Maaidah : 2..
Jiwa kita akan senang dengan orang yang mengambil manfaat bagi dirinya dengan cara yang baik. Kita anggap seburuk-buruk manusia orang yang mengambil manfaat banyak dari diri kita dengan cara yang salah. dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil),QS. Al Fajr : 19. Apakah itu menipu, mencuri, dan mengambil paksa, bahkan dengan kekerasan. nauzubillahimunzalik

Saudaraku yang dirahmati Alloh… Namun yang luar biasa adalah orang lebih banyak memberi dari mengambil manfaat dalam berhubungan dengan orang lain. Orang yang seperti ini kita sebut orang yang terbaik di antara kita. Dermawan. Ikhlas. Tanpa pamrih. Tidak punya vested interes.

Orang yang selalu menebar kebaikan dan memberi manfaat bagi orang lain adalah sebaik-baik manusia. Kenapa Rasulullah saw. menyebut seperti itu? Setidaknya ada empat alasan. Pertama, karena ia dicintai Allah swt. Rasulullah saw, pernah bersabda yang bunyinya kurang lebih, orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Siapakah yang lebih baik dari orang yang dicintai Allah ?

Alasan kedua, karena ia melakukan amal yang terbaik. Kaidah usul fiqih menyebutkan bahwa kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih bermanfaat ketimbang yang manfaatnya dirasakan oleh diri sendiri. Apalagi jika spektrumnya lebih luas lagi. Amal itu bisa menyebabkan orang seluruh negeri merasakan manfaatnya. Karena itu tak heran jika para sahabat ketika ingin melakukan suatu kebaikan bertanya kepada Rasulullah, amal apa yang paling afdhol untuk dikerjakan. Ketika musim kemarau dan masyarakat kesulitan air, Rasulullah berkata membuat sumur adalah amal yang paling utama. Saat seseorang ingin berjihad sementara ia punya ibu yang sudah sepuh dan tidak ada yang merawat, Rasulullah menyebut berbakti kepada si ibu adalah amal yang paling utama bagi orang itu.

Saudaraku….. maka yang keKetiga, karena ia melakukan kebaikan yang sangat besar pahalanya. Berbuat sesuatu untuk orang lain besar pahalanya. Bahkan Rasulullah saw. berkata, “Seandainya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi suatu kebutuhannya, maka itu lebih aku cintai daripada i'tikaf sebulan di masjidku ini.” (HR. Thabrani). Subhanallah ternyata kebaikan yang terbaik adalah ketika kesholehan diri kita dapan dirasakan oleh orang lain bukan hanya dirinya.

Keempat,  memberi manfaat kepada orang lain tanpa pamrih, yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,” QS. Al Mulk : 2. Ketia keikhlasan itu menghujam di hati dan amal, maka dia takmengundang pujian dan sanjungan atas amalnya. Allah swt. mengikuti persangkaan hambanya. Ketika orang menilai diri kita adalah orang yang baik, maka Allah swt. menggolongkan kita ke dalam golongan hambanya yang baik-baik.
Saudaraku….. ada kisah yang menarik. Pernah suatu ketika lewat orang membawa jenazah untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut orang itu sebagai orang yang tidak baik. Kemudian lewat lagi orang-orang membawa jenazah lain untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut kebaikan si mayit. Rasulullah saw. membenarkan. Seperti itu jugalah Allah swt. Karena itu di surat At-Taubah ayat 105, Allah swt. menyuruh Rasulullah saw. untuk memerintahkan kita, orang beriman, untuk beramal sebaik-baiknya amal agar Allah, Rasul, dan orang beriman menilai amal-amal kita. Di hari akhir, Rasulullah dan orang-orang beriman akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa kita seperti yang mereka saksikan di dunia.

Saudaraku…. Untuk bisa menjadi orang yang banyak memberi manfaat kepada orang lain, kita perlu menyiapkan beberapa hal dalam diri kita. Pertama, tingkatkan derajat keimanan kita kepada Allah swt. Sebab, amal tanpa pamrih adalah amal yang hanya mengharap ridho kepada Allah. Kita tidak meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah swt. saja balasannya. Ketika iman kita tipis terkikis, tak mungkin kita akan bisa beramal ikhlas Lillahi Ta’ala. Ketika iman kita memuncak kepada Allah swt., segala amal untuk memberi manfaat bagi orang lain menjadi ringan dilakukan. Kisah seorang sahabat Rasul, Bilal bin Rabah bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin. Namun kepadanya, Rasulullah saw. memerintahkan untuk bersedekah. Sebab, sedekah tidak membuat rezeki berkurang. Begitu kata Rasulullah saw. Bilal mengimani janji Rasulullah saw. itu. Ia tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang dimiliki dalam keadaan sesulit apapun.

Kedua, untuk bisa memberi manfaat yang banyak kepada orang lain tanpa pamrih, kita harus mengikis habis sifat egois dan rasa serakah terhadap materi dari diri kita. Allah swt. memberi contoh kaum Anshor. Lihat surat Al-Hasyr ayat 9. Merekalah sebaik-baik manusia. Memberikan semua yang mereka butuhkan untuk saudara mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika kaum Muhajirin telah mapan secara financial, tidak terbetik di hati mereka untuk meminta kembali apa yang pernah mereka beri.

Yang ketiga, tanamkan dalam diri kita logika bahwa sisa harta yang ada pada diri kita adalah yang telah diberikan kepada orang lain. Bukan yang ada dalam genggaman kita. Logika ini diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada kita. Suatu ketika Rasulullah saw. menyembelih kambing. Beliau memerintahkan seoran sahabat untuk menyedekahkan daging kambing itu. Setelah dibagi-bagi, Rasulullah saw. bertanya, berapa yang tersisa. Sahabat itu menjawab, hanya tinggal sepotong paha. Rasulullah saw. mengoreksi jawaban sahabat itu. Yang tersisa bagi kita adalah apa yang telah dibagikan.

Begitulah. Yang tersisa adalah yang telah dibagikan. Itulah milik kita yang hakiki karena kekal menjadi tabungan kita di akhirat. Sementara, daging paha yang belum dibagikan hanya akan menjadi sampah jika busuk tidak sempat kita manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika kita makan. Begitulah harta kita. Jika kita tidak memanfaatkannya untuk beramal, maka tidak akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan habis lapuk karena waktu, hilang karena kematian kita, dan selalu menjadi intaian ahli waris kita. Maka tak heran jika dalam sejarah kita melihat bahwa para sahabat dan salafussaleh enteng saja menginfakkan uang yang mereka miliki. Sampai sampai tidak terpikirkan untuk menyisakan barang sedirham pun untuk diri mereka sendiri.

Keempat, kita akan mudah memberi manfaat tanpa pamrih kepada orang lain jika dibenak kita ada pemahaman bahwa sebagaimana kita memperlakukan seperti itu jugalah kita akan diperlakukan. Jika kita memuliakan tamu, maka seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika bertamu. Ketika kita pelit ke tetangga, maka sikap seperti itu jugalah yang kita dari tetangga kita.
Kelima, untuk bisa memberi, tentu kita harus memiliki sesuatu untuk diberi. Kumpulkan bekal apapun bentuknya, apakah itu finansial, pikiran, tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air, kita bisa memberi minum orang yang harus. Jika punya ilmu, kita bisa mengajarkan orang yang tidak tahu. Ketika kita sehat, kita bisa membantu beban seorang nenek yang menjinjing tak besar. Luangkan waktu untuk bersosialisasi, dengan begitu kita bisa hadir untuk orang-orang di sekitar kita. Mudah-mudahan yang sedikit ini bisa menginspirasi. Walahualambishsowab