Rabu, 25 Januari 2012

Al Iltizam

Iltizam adalah suatu komitmen yang lahir dari dalam diri (wa’yu dzati) dan bukan sesuatu yang bersifat kamuflase (kepura-puraan)ataupun paksaan.
Menurut Fathi Yakan, iltizam adalah sebuah komitmen terhadap Islam dari hukum-hukumnya secara utuh dengan menjadikan Islam sebagai siklus kehidupan, tolak pikir dan sumber hukum dalam setiap tema pembicaraan dan permasalahan. Sebagaimana perintah Allah Taala dalam, QS. 2:208 agar seorang muslim masuk ke dalam Islam secara kaffah.
Jika seorang muslim telah menjadikan Islam sebagai titik tolak berfikir dalam segala hal maka sikap dan perilakunya bukan sekadar dibuat-buat melainkan dilakukan dengan kesadaran.
Dari ilmu dan pemahaman diharapkan menumbuhkan keyakinan dan iman yang kemudian mensibghah dan pada akhirnya membentuk sikap serta perilaku yang Islami.
Imam syahid Hasan Al-Bana membagi manusia ke dalam tiga kelompok berdasarkan pemahaman dan tingkatan akidahnya:
Kelompok yang menerima iman Islam secara doktrin atau dogmatis yang tidak disertai ilmu dan pemahaman yang memadai. Kualitas keyakinannya minim dan biasanya berubah menjadi keragu-raguan bila ada hal yang menimbulkan keraguan pada dirinya.
Kelompok yang menerima iman Islam karena sesuai dengan logika dan pemikiran bila diungkapkan dengan dalil-dalil berupa logika qurani, maka keimanan dan keyakinan semakin mantap dan bertambah kuat. Hanya saja amalnya masih kurang nampak atau belum terealisir secara baik. Jadi keyakinannya baru sampai tataran logika.
Kelompok yang menerima iman Islam karena memadukan unsur pikir, pemahaman dan ketaatan. Jadi semakin yakin ia akan semakin taat melaksanakan amal shaleh dan memperbaiki ibadahnya hatinya selalu diterangi cahaya Allah.

Indikasi-Indikasi Iltizam

Paling tidak harus ada dua indikator yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki iltizam atau komitmen:
Ada indikator lahiriah yang jelas dan kongkrit. Misalnya seorang muslim yang shaleh akan hampir selalu terlihat shalat berjamaah di masjid atau muslimahnya menutup aurat dengan memakai jilbab. Jadi logikanya tidak bisa dibalik bahwa orang yang shalat di masjid belum atau muslimah berjilbab belum tentu baik. Hal tersebut di atas memang tidak bisa digeneralisir dan kita sulit mengatakan seseorang memiliki iltizam jika ia enggan shalat atau enggan ke masjid dan enggan menutup aurat.
Adanya muraqabah dzatiyah. Kita memang tidak boleh hanya mengandalkan muta ba’ah zhahiriyah, melainkan juga harus menumbuhkan muraqabah dzatiyah agar amal yang dilakukan tidak dinodai kepura-puraan, kamuflase, nifaq, dan riya. Artinya di manapun dan dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun apakah ada orang atau tidak, giat atau malas, suka atau tidak suka, dicaci atau di puji kita tetap konsisten dalam melakukan amal shaleh. Sebagaimana Rasulullah saw. berpesan kepada seorang sahabat yang belum mau pulang atau kembali ke daerah asalnya untuk berdakwah.
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”

Urgensi Iltizam

Iltizam merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi seorang muslim apalagi bagi aktivis Islam atau para dai, karena iltizam merupakan indikasi amal yang sangat diperlukan dalam konteks kehidupan berjamaah.
Tidak mungkin ahdaful jamaah dapat terealisir tanpa ada junud atau anggota-anggota jamaah yang akan melaksanakan ahdaf dan beriltizam terhadap uslub untuk mencapai ahdaf tersebut.
Hasan Al-Bana menegaskan bahwa awal kesiapan seseorang untuk memasuki tahapan takwin dan tanfidz ialah jika ia memiliki at thaat kaamilah atau ketaatan yang sempurna. Oleh karena itu sasaran atau ahdaf dalam berjamaah tidak akan terwujud tanpa adanya junud yang komit atau berilitizam dalam melaksanakan uslub untuk mencapai ahdaf.
Padahal jamaah Islam sebagai sebuah harakah yang tertata memiliki ahdaf (tujuan-tujuan) dan berusaha untuk mencapainya ahdaf yang dimaksud ialah mendapatkan mardhatillah, meninggikan kalimat Allah, mengibarkan panji-panji Islam kemudian menegakkan Islam di seluruh muka bumi.
Dalam mencapai ahdaf tersebut jamaah memiliki aqayiz dan auzan (kriteria-kriteria dan aturan-aturan). Berdasarkan kriteria-kriteria dan aturan-aturan tersebut diseleksilah para dai dan aktivis yang layak untuk terlibat dalam jamaah (jadi memiliki pola taqwim). Beberapa di antara kriteria tersebut adalah thaat, iltizam, dan jiddiah (kesungguh-sungguhan).
Sehingga sekalipun ada seorang ulama yang paling bertaqwa atau wara’ namun tidak mau komit atau beriltizam, maka ia tidak layak masuk jamaah dan tidak dianggap sebagai anggota atau a’dha jamaah, melainkan sekadar sebagai seorang muslim yang dicintai jamaah.
Kualitas seorang a’dha dalam jamaah dapat dilihat dari sejauh mana kualitas iltizamnya. Semakin besar kadar keiltizamannya seseorang berdasarkan kriteria-kriteria tersebut di atas, maka semakin berbobot pula kualitas dirinya.

Dua Jenis Iltizam

Iltizam secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni iltizam terhadap syariat dan iltizam terhadap jamaah.
Iltizam terhadap syariat meliputi aqidah salimah, ibadah shahihah, akhlaq hamidah, dakwah wal jihad, syumul wa tawazun. Sedangkan iltizam terhadap jamaah melingkupi bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq, qararat dan taat kepada pemimpin.
Dimilikinya kedua jenis iltizam tersebut dalam diri seseorang diharapkan akan membentuk manusia yang utuh (insan mutakamil).

1. Iltizam terhadap Syariat

Beriltizam atau memiliki komitmen terhadap aqidah shahihah. Yang dimaksud dengan aqidah salimah ialah akidah yang sehat, bersih dan murni terbebas dari segala unsur nifaq dan kemusyrikan. Dalam QS 2: 165 disebutkan bahwa ada orang–orang yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah sebagai tandingan bagi Allah. Dan mereka mencintai ilah-ilah tandingan tersebut sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat dicintainya kepada Allah, dari ayat tersebut terlihat bahwa kita tidak boleh mengambil sesuatu selain Allah sebagai Tuhan yakni sesuatu yang dicenderungi, dicintai, disembah dan mendominasi hidup kita. Demikian pula dalam segala hal prioritas cinta, kita harus meletakkan cinta kepada Allah dan kemudian jihad di jalan-Nya sebagai prioritas pertama dibanding dengan orang tua, anak, suami/istri, kerabat, harta perniagaan atau rumah kediaman (QS 9: 24), seperti nampak pada keikhlasan muhajirin meninggalkan segala-galanya yang ada di Makkah dan keridhaan para sahabat Anshar untuk menolong mereka. Bagi mereka ridha Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya.
Beriltizam atau berkomitmen terhadap ibadah yang salimah dan istimrar (kontinyu). Seorang a’dha sebagai muslim memiliki kewajiban untuk melakukan ibadah yang shahih terbebas dari segala bid’ah dan khurafat. Dan ia terikat kepada kewajiban tersebut. Sayid Qutb pernah mengatakan bahwa kualitas iltizam seseorang pertama-tama diukur dari komitmennya terhadap shalat baik dari segi ketepatan waktu maupun kekhusyuannya. Shalahuddin Al-Ayyubi, pahlawan pembebasan Al-Quds selalu memantau di malam hari sebelum perang siapa-siapa saja yang tendanya terang karena menegakkan shalat malam dan tilawah Al-Quran dan mereka itulah yang kemudian diberangkatkan ke medan jihad keesokan harinya. Dan ada seorang ulama salafus shaleh yang memimpikan Junaid Al-Baghdadi setelah ia wafat. ketika ditanya apa yang diperhitungkan oleh Allah terhadapnya. Ia ternyata menjawab, “Hilang semua amalku tak ada yang memberi manfaat kecuali beberapa rakaat di waktu malam. Hal itu menunjukkan bobot nilai shalat tahajud.
Memiliki komitmen atau beriltiazam kepada akhlaq hamidah (akhlak terpuji). Akhlaq hamidah jelas harus dimiliki oleh seorang a’dha yang beriltizam. Dan akhlaq hamidah yang dimaksud tentu saja akhlak yang Islami dan qurani. Sebagaimana mana Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan dipuji Allah sebagai orang yang berbudi pekerti agung. (QS 68: 4) Aisyah ra. Mengatakan bahwa akhlak beliau adalah Al-Quran. Artinya jika ingin melihat bagaimana Al-Quran dijabarkan secara konkret dalam sikap, perilaku, dan tindak tanduk di segala aspek kehidupan, lihatlah diri Rasulullah. Rasulullah boleh dikatakan “the living quran” atau Al-Quran yang hidup. Bila seorang dai memiliki akhlak yang Islami ia akan mendapat manfaat antara lain bahwa dirinya patut menjadi teladan. Akhlak terpujinya itu juga menjadi daya tarik dakwah dan dirinya juga akan selalu terhindar dari fitnah. Rasulullah saw misalnya pernah dikatakan dukun, tukang sihir, gila dan sebagainya, tetapi akhirnya fitnah-fitnah itu terlepas dengan sendirinya melihat keutamaan pribadi Rasulullah. Begitu pula fitnah keji berupa tuduhan zina terhadap ummul mukiminin Aisyah ra yang dikenal dengan peristwa ‘haditsul ifki’. Beliau akhirnya mendapatkan pembelaan langsung dari Allah dalam surat An-Nur.
Komit atau memiliki iltizam terhadap dakwah wa jihad, dakwah dan jihad. Seorang a’dha yang memiliki komitmen terhadap jamaah dengan harakah, tentu saja harus memiliki iltizam terhadap dakwah dan jihad. Dakwah dan jihad memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain seperti dua sisi mata uang. Dakwah adalah upaya untuk meraih keberuntungan di sisi Allah dengan jalan menyeru kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat ma’ruf dengan mencegah yang mungkar (QS 3: 104). Sedangkan keutamaan jihad sudah tidak diragukan lagi. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang tidak pernah melakukan jihad dan tidak pernah berniat untuk berjihad, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah” jihad memang dapat dilakukan dengan berbagai bentuk seperti jihad bil mal, bil lisan, dan lain-lain, namun jihad tertinggi adalah qital. Ada konsekuensi logis ketika seseorang beriltizam pada jihad yakni ia juga harus beriltizam terhadap segala sesuatu yang merupakan persiapan untuk itu seperti tarbiah takwiniah yang istimrar dan lain-lain.
Berkomitmen atau beriltizam terhadap syumul wa tawazun. Dienul Islam ajaran yang syamil (integral, komprehensif) dan mutakamil (utuh) serta mutawazinah (seimbang). Pendek kata Islam adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah (QS 5:3, 3:19) Sebagaimana alam semesta diciptakan sempurna, tidak ada kekurangan (QS 67: ) dan dalam harmoni tawazun (keseimbangan) seperti dalam (QS 55: 7-9), maka manusia pun bagian dari alam semesta diciptakan Allah dalam keadaan sebaik-baik rupa (QS 95: ). Umat Islam juga dikatakan sebagai “umatan wasatha’“ (umat pertengahan). Ajaran sarat dengan kesyumuliahan dan ketawazunan. misalnya ajaran Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai dari hal sepele sampai yang paling berat dan kompleks, (syamil). Kemudian Islam mengajarkan manusia berikhtiar maksimal (QS 13: 11) tetapi juga menyuruh bertawakal (QS 65: ). Islam melarang manusia kikir, tetapi juga tidak membolehkan berlaku boros, israf ataupun melakukan kemubadziran. Jadi seorang a’dha dalam Iltizamnya terhadap syariah harus memiliki komitmen pada syumuliatul dan ketawazunan Islam.

2. Al-Iltizam Bil Jamaah

a. Iltizam terhadap bai’ah.
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 9: 111)
Satu-satunya ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah harta dan jiwa, tetapi mendahulukan jiwa adalah ayat di atas. Dan transaksi ‘jual-beli’ antara Allah sebagai pembeli dan mukmin sebagai penjual ini erat kaitannya dengan masalah bai’ah. Sikap iltizam terhadap bai’ah yang telah diucapkan nampak jelas pada tokoh Anshar, Nusaibah binti Ka’ab dan Habibi bin Zaid. Nusaibah dengan bai’ah Aqabah II, bertempur mati-matian melindungi dan menjadi perisai Rasulullah di perang Uhud tatkala kebanyakan tentara Islam lain kocar-kacir panik terhadap serangan balik mendadak Khalid bin Walid. Atau Habib bin Zaid yang disiksa Musailamah Al-Kadzab karena tidak mau mengakuinya sebagai nabi, tidak rela menodai bai’ah yang telah Habib bin Zaid diucapkannya walaupun untuk itu ia harus menebusnya dengan nyawa. Tubuhnya dicabik-cabik dan disayat-sayat selagi masih hidup. Sekali kita mengucapkan bai’ah seumur hidup kita terikat untuk beriltizam kepadanya.
b. Komit terhadap ansyithah (kegiatan-kegiatan) baik yang kharijiah (eksternal) maupun dakhiliyah (internal). Seorang a’dha seyogianya memiliki komitmen terhadap semua ansyithah (kegiatan) dalam jamaah baik yang bersifat dakhiliyah (internal) maupun kharijiah (eksternal). Kegiatan internal seperti berusaha selalu hadir dengan tepat waktu dalam acara rutin liqa’ usari dan liqa’ tatsqifi serta daurah-daurah pembekalan dan pengayaan seperti daurah siyasi, daurah murabbi, jalasah ruhiyah dan lain-lain yang diadakan secara berkala. Kemudian bila jamaah terutama dalam era hizbiyah/kepartaian ini banyak melakukan manuver-manuver keluar seperti bakti sosial di daerah-daerah bencana, pengerahan logistik berupa nasi bungkus untuk acara ‘muzhaharah’, penggalangan masa atau demo, tentu saja semuanya harus diikuti pula dengan penuh semangat. Intensitas keterlibatan kita yang tinggi dengan semua kegiatan jama’ah insya Allah akan membuat iltizam kita kepada jamaah semakin kokoh.
c. Beriltizam terhadap wazhifah (tugas-tugas) yang dibebankan jamaah kepadanya. Iltizam atau komitmen terhadap tugas yang dipikulkan pada kita merupakan aspek yang pokok dan mendasar dalam hubungan struktural tanzhim, seorang a’dha harus menyesuaikan diri dengan segala tugas yang dipikulkan ke pundaknya. Baik tugas itu disukai atau tidak dan baik ia sedang rajin maupun malas. Bukan tugas atau wadzhifah yang harus disesuaikan dengan kondisi dirinya, melainkan a’dha tersebut yang harus menyesuaikan diri dengan tugas-tugas yang diamanahkan kepadanya. Sikap seorang a’dha dalam masalah wadzhifah tanzhimiyah hendaklah bijak. Ia tidak akan pernah mencari-cari atau meminta jabatan ataupun wadzhifah tanzhimiyah, namun bila kemudian diamanahi, ia tidak boleh mengelak atau menolak. Seperti Said bin Amir yang dimarahi oleh Umar bin Khathab karena tidak mau mengemban amanah sebagai gubernur di Himsh (Suriah sekarang). “Celaka engkau hai Said, kau bebankan di pundakku beban yang berat (dibaiah sebagai amirul mu’minin), tetapi kau tak mau membantuku “ Akhirnya barulah Said bin Amir mau menerima amanah tersebut.
d. Iltizam atau komit terhadap infaq, baik yang wajib maupun yang sunnah. Sahabat ada yang pernah meminta cuti atau dispensasi (keringanan) dalam hal jihad dan infaq. Rasulullah pun menjawab dengan sangat tajam, “Wa la shadaqah wa la jihadu fiima tadkhulul jannata araan? “Tidak mau bersedekah  dan tidak berjihad, jadi dengan apa kalian akan memasuki surga“. Keutamaan berinfaq atau berjuang dengan harta dan jiwa (QS 9: 111, 61:10-11) sangat sering diungkapkan dalam firman-firman Allah. Bahwa ia akan membalasnya dengan beratus-ratus kali lipat, bahkan dengan surga. Bahkan contoh-contoh keutamaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin Auf, Sa’ad bin Raby, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim, Aisyah dan Asma binti Abu Bakar, Zainab binti Jahsy, Khadijah, dan lain-lain terukir indah dalam sejarah Islam. Maka suatu kewajaranlah bila kita yang telah berbaiat ini terikat untuk memenuhi kewajiban berinfaq, baik yang wajib maupun yang sunnah.
e. Beriltizam terhadap qararat (keputusan-keputusan) jamaah. Seorang a’dha muntadzim yang bukan hanya beriltizam terhadap syariat tetapi juga pada jamaah seharusnya selalu berada dalam shaf jamaah. Ia berusaha menjalankan tugasnya sebaik-baiknya di manapun ia diputuskan oleh jamaah untuk ditempatkan. Bahkan dalam hadits dikatakan, “Surga untuk seorang hamba jika ia mendapat bagian jaga ia berjaga dengan baik.” Ia pun akan komit pada kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan jamaah dalam amal dan uslub dakwah. Ia terikat dengan keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan jamaah dengan perintah-perintah qiyadah. Sekalipun bertentangan dengan keinginan dan pendapat pribadi. Hendaknya kita harus selalu berprasangka baik bahwa keputusan tersebut adalah yang paling tepat untuk mendatangkan kemaslahatan. Kita bisa mengambil ibrah dari fiqhus shalat agar senantiasa taat dan husnuz zhan pada qiyadah. Dalam shalat bila kita sebagai ma’mum sedang membaca al-fatihah, tetapi imam sudah takbir akan ruku, kita harus segera mengikuti imam, walaupun kita belum siap atau belum selesai membaca al-fatihah.
f. Komit terhadap “tha’atul qiyadah” taat terhadap pemimpin. Ketaatan seorang muslim yang total, utuh dan bulat, memang hanya kepada Allah dan Rasul-Nya (QS 3: 31, 32, 132, 4: 59, 80). Namun di ayat 4: 59 itu pun disebutkan kewajiban taat kepada pemimpin atau ulil amri yang beriman sepanjang tidak dalam rangka kemaksiatan dijalan Allah. Karena laa thaata li makhluqin fi ma’siatil Khaliq’ (tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Sang Pencipta). Seorang a’dha yang telah mengucapkan bai’ah untuk taat dalam giat atau malas, suka atau tidak suka keadaan harus menaati qiyadahnya atau naqibnya sebagai sosok kepemimpinan dalam jamaah yang terdekat dengannya.
Untuk mengefektifkan iltizam seorang a’dha baik dalam ruang lingkup syar’i maupun tanzhimi, hendaknya seorang a’dha memiliki pemahaman yang baik tentang perjalanan yang benar dalam melakukan amal Islam yang kemudian keimanan dan ketakwaan yang senantiasa terjaga.
Iltizam kepada kewajiban-kewajiban syariah membuat seorang muslim menjadi syakhshiyah muslimah atau pribadi Islami. Segala sikap dan tindak–tanduknya tidak akan menyimpang dari koridor syar’i.
Dan bila ia kemudian memiliki cita-cita luhur tak hanya ingin menjadi shalih atau shalihah, namun juga berusaha membuat orang lain menjadi shalih (muslih), maka ia akan berjuang bersama dalam sebuah jamaah atau gerakan dakwah. Ia bergabung dengan harakah yang bertujuan membebaskan negeri-negeri Islam, menyadarkan umatnya dalam menyerukan kalimat-Nya di muka bumi. Bergabungnya ia dengan gerakan dakwah tersebut membuat ia terikat atau beriltizam dengan kewajiban-kewajiban yang ada dalam jamaah tersebut. Maka jadilah syaksiah harakiah atau pribadi yang haraki, dinamis bergerak dan berjuang.
Seorang a’dha yang dalam dirinya terdapat kedua jenis iltizam tadi, maka ia muncul menjadi syakhshiyah muslimah mutakamilah atau pribadi Islami yang utuh.
Semakin banyak orang yang terbentuk menjadi syakhshiyah muslimah mutakamilah insya Allah harapan Syahid Sayid Qutb, “A- Mustaqbal li haadza dien(Masa Depan Di Tangan Islam) akan dapat terwujud. Amin

Wallahu a’lam Bishowab.


rahmatfadila

Kamis, 19 Januari 2012

HAROKATUL IRTIDAD
gerakan pemurtadan

Hari ini ummat islam belum mampu tampil sebagai ummat terdepan yang memimpin peradaban dunia, padahal ummat islam adalah ummat yang terbaik, ( QS. Ali Imron [3] : 110) :

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah….”

Kalau kita berkaca pada ayat di atas ternyata realita yang terjadi jauh dari kenyataan, ummat islam adalah sosok ummat yang tertindas, dihinakan bahkan ummat islam itu sendiri merasa rendah dan hina bila harus hidup dengan aturan Islam itu sendiri, terkadang tak jarang kita mencibir orang yang mengamalkan nilai-nilai islam dengan bahasa “kampungan, dah ga zaman, norak dsb”

Kemunduran ummat ini ada dua faktor ; yang pertama : faktor internal “jauhnya ummat islam dari al qur’an dan as sunnah, merasa rendah dengan Islam, tidak tsiqoh pada Islam, gejala taqlid dengan semua yang datang dari barat, tafaruq/berpecah belah, tertinggalnya dari ilmu pengetahuan dan tegnologi” dan yang kedua faktor ; eksternal “kemunduran islam juga disebabkan oleh adanya serbuan dahsyad dari musuh-musuh islam untuk menghancurkan islam dan umatnya, mereka ingin agar ummat islam di seluruh dunia ini murtad dari agamanya, gerakan yang mereka lakukan itu di sebut dengan gerakan pemurtadan (harokatul irtidad).

            Harokatul irtidad, adalah suatu gerakan yang terencana, terorganisir secara sistematik berusaha untuk menghancurkan islam dan ummatnya. Keberadaan harokatul irtidad banyak di ungkapkan di dalam al qur’an dalam beberapa ayat, dengan menunjukkan kekuatan-kekuatan pokok/ asasi-nya yang meliputi ; Yahudi, Nasrani dan Musyrikin, misalkan :

QS Al Baqoroh [2] : 120. “ Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.

QS. Al Baqoroh [2] : 109. “ Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya [82]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu “. [82] Maksudnya: keizinan memerangi dan mengusir orang Yahudi.

            Bagi meraka keberadaan ummat Islam di muka bumi ini, merupakan hal yang paling tidak di sukai. Oleh karena itu mereka selalu berupaya untuk melenyapkan ummat islam dari muka bumi, serta memurtadkan ummat islam dari agamanya. Permusuhan mereka dengan ummat islam dan kaum muslimin di wujudkan dalam bentuk perang yang tidak kenal henti (abadi) sampai seluruh kaum muslimin murtad dari agamanya. QS. Al Baqoroh [2] : 217.

“ …. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya “.

            Perang yang mereka lancarkan adalah perang yang sesungguhnya, yaitu menggunakan pasukan tempur, bunuh membunuh, serta menghancurkan seluruh sarana fisik yang ada. Perang yang semacam ini akan selalu dilakukan, apabila mereka sanggup untuk melakukannya. Adapun, jikala mereka merasa tidak mampu untuk melakukan perang dalan arti sebenarnya, mereka tetap akan melakukan perang walau dalan arti yang lain.

            Dalam hal ini, perang yang akan mereka lakukan adalah perang kebudayaan (perang peradaban), perang dalam hal ini adalah untuk menghancurkan nilai-nilai budaya/ peradaban kaum muslimin dan juga perang untuk menghancurkan/ membunuh kepribadian kaum muslimin. Perang untuk menghancurkan ideology, pola pikir, moral, dan seluruh tata nilai islam serta semua system kehidupan kaum muslimin, perang untuk menjadikan kaum muslimin takluk dan rela menjadi pengikut-pengikut mereka.

            Rasa permusuhan terhadap kaum muslimin, dengan semangat perang dan penaklukan oleh harokatul irtidad, telah melahirkan berbagai macam bentuk penjajahan di muka bumi ( Inagat semboyan Imperalis, yaitu 3G yang merupakan singkatan dari Glory (kekuasaan), Glod (kekayaan), and Gospel (penyebaran misi injil). Penjajahan harokatul irtidad terhadap kaum muslimin saat ini, meliputi penjajahan militer, penjajahan pemikiran, budaya dan prilaku/ akhlaq.

            Sehingga ada dua konsep dari gerakan harokatul irtidad : yang pertama : Harbul Asyakir (perang dengan kekuatan militer). Strategi perang ini dilakukan oleh harokatul irtidad, bila mereka merasa mampumelakukanya. Umumnya hal ini dilakukan terhadap kaum muslimin yang kondisinya lemah, minoritas, tidak memiliki kekuatan senjata dan tidak memiliki pendukung/ sekutu militer. Adapun bentuk perang yang dilakukan harokatul irtidad dengan kekuatan militernya meliputi ; perang urat syaraf (gerakan intelijen) dan perang berdarah (perang fisik).

            Perang urat syaraf ( Harobul A’shobi ); gerakan intelijen; mata-mata). Dengan gerakan ini, mereka berupaya untuk menakuti ummat islam, membangkitkan permusuhan dan kebencian manusia terhadap islam dan gerakan islam, sehigga diharapkan gerakan kebangkitan islam dan upaya perlawanan kaum muslimin terhadap mereka tidak mendapatkan dukungan ummat/ masyarakat. Perang berdarah (Harbul damawiyah) ; pertempuran fisik. Dengan perang ini mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan jiwa kaum muslimin. Mereka melakukan pemenjaraan, penganiyayaan dan pengusiran terhadap kaum muslimin yang di anggap membangkang terhadap mereka. QS. Al Anfal [8] : 30.

“ Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya”.

            Yang kedua adalah Perang Peradaban : Perang peradaban/ budaya yang di lakukan orang-orang di luar islam untuk menghancurkan seluruh tata nilai kaum muslimin beserta seluruh peradabanya. Dalam perang ini, meraka menyerang kaum muslimin dengan melontarkan berbagai pemikiran yang merusak pola pikir kaum muslimin. Dengan rusaknya pola pikir kaum muslimin, diharapkan rusak pula tata nilai dan kepribadian kaum muslimin.

            Karena perang peradaban ini menggunakan kekuatan pemikiran dan pengaruhnya, maka perang ini juga di kenal dengan perang pemikiran/ ghozul fikri. Perang yang dilakukan oleh harokatul irtidad dengan segala daya dan upaya agar kaum muslimin hancur total. Sehingga dari dua konsep ini Perang militer yang dengan kegiatan intelijennya membuat kaum muslimin hancur secara moral (hilangnya keberanian), dan dengan Perang fisiknya membuat kehancuran fisik kaum muslimin beserta seluruh sarana hidupnya. Sedangkan dengan perang pemikiran (ghozul fikri), kaum muslimin dapat hancur pola pikir dan akhlaq perilakunya, hal ini lah yang akan membuat kaum muslimin menuju kepada pemurtadan total dari agama Allah SWT. Wallahu’alam bishowab.

Rahmat Fadila

www.rahmatfadila.blogspot.com  












Selasa, 17 Januari 2012

Sang Penjaga Rahasia

Namanya Hudzaifah bin al-Yaman, terkenal dengan julukan
Shahibu Sirri Rasulillah (penjaga rahasia yang dipercaya oleh Rasulullah). Orangnya sangat disiplin dan teguh memegang rahasia. Siapa pun tidak akan bisa membujuk atau memaksanya untuk membuka rahasia.
Salah satu problem besar yang dihadapi oleh umat Islam di Madinah adalah keberadaan kaum munafiqin, yang secara sengaja menyebarkan isu-isu yang tidak benar terhadap Nabi dan kaum Muslimin. Mereka suka membuat intrik-intrik dan tipu muslihat yang menyulitkan kaum Muslimin.
Rasulullah SAW tahu siapa saja mereka dan siapa tokoh-tokohnya, tetapi beliau tidak bisa mengumumkannya karena sehari-hari mereka menampilkan diri sebaimana orang-orang beriman lainnya, bahkan juga datang shalat berjamaah di masjid bersama Nabi-kecuali shalat Subuh dan Isya yang berat bagi mereka melakukannya.
Nabi memberikan daftar nama-nama kaum munafiqin kepada Hudzaifah dan memintanya untuk merahasiakannya kepada siapa pun. Hudzaifah juga ditugasi mengawasi gerak-gerik dan kegiatan mereka untuk mencegah bahaya yang mungkin akan mereka timpakan kepada kaum Muslimin. Rahasia itu dipegang sangat erat oleh Hudzaifah sampai Rasulullah SAW wafat.
Tatkala menjabat khalifah, Umar bin Khathab pernah bertanya kepada Hudzaifah apakah ada pegawainya yang munafik. Hudzaifah menjawab, ada satu orang, tapi dia tidak mau menyebutkan namanya. "Maaf wahai Amirul Mukminin, saya dilarang Rasulullah mengatakannya."
Hudzaifah bukanlah berasal dari Yaman walaupun bapaknya bernama al-Yaman. Bapaknya orang Makkah, dari Bani 'Abbas. Oleh karena suatu utang darah dari kaumnya, al-Yaman terpaksa menyingkir ke Yatsrib-yang kemudian bernama Madinah. Di Yatsrib, al-Yaman berlindung dan bersumpah setia pada Bani 'Abd Asyhal, sampai kemudian menikah dengan perempuan dari suku tersebut. Dari perkawinan itulah lahir Hudzaifah. Walaupun sering bolak-balik ke Makkah, al-Yaman lebih banyak menetap di Madinah.
Dengan latar belakang orang tua seperti itu, tatkala pertama kali bertemu dengan Nabi di Makkah-sebelum beliau hijrah-Hudzaifah menanyakan apakah dia termasuk Muhajirin atau Anshar. Nabi menjawab: "Jika engkau ingin digolongkan kepada Muhajirin, engkau memang Muhajir. Dan, jika ingin digologkan kepada Anshar, engkau memang seorang Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai." Sekalipun kedua-duanya disayangi oleh Rasulullah, ternyata Hudzaifah memilih digolongkan kepada Anshar.
Kedua orang tua Hudzaifah sudah masuk Islam sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Dan, Hudzaifah pun sudah masuk Islam sebelum bertemu dengan Nabi. Setelah Nabi hijrah ke Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi beliau, turut bersama Nabi dalam seluruh peperangan kecuali Perang Badar. Dalam Perang Khandaq, Hudzaifah mendapatkan tugas yang sangat berat dari Nabi. Tugas yang hanya dapat dilaksanakan oleh orang yang cerdas, tangggap, dan berdisiplin tinggi.
Pada malam gelap gulita, Hudzaifah ditugaskan oleh Nabi masuk ke jantung pertahanan musuh, mengintai gerak-gerik mereka. "Hai Hudzaifah," kata Nabi. "Sekali-kali jangan melakukan tindakan yang mencurigakan mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali melapor kepadaku."
Hudzaifah sukses menjalankan tugas itu. Dia bahkan bisa berada sangat dekan dengan Abu Sufyan, panglima perang musuh. Kata Hudzaifah: "Seandainya Rasulullah tidak melarangku melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada beliau, sungguh telah kubunuh Abu Sufyan dengan pedangku." Demikianlah sekelumit tentang Hudzaifah bin al-Yaman RA, sang penjaga rahasia.
DR. YUNAHAR ILYAS

Minggu, 15 Januari 2012

AFATUL LISAN

1.      PERINTAH BERKATA BAIK

Kemampuan berbicara adalah salah satu kelebihan yang Allah berikan kepada manusia, untuk berkomunikasi dan menyampaikan keinginan-keinginannya dengan sesama manusia. Ungkapan yang keluar dari mulut manusia bisa berupa ucapan baik, buruk, keji, dsb.

Agar kemampuan berbicara yang menjadi salah satu ciri manusia ini menjadi bermakna dan bernilai ibadah, Allah SWT menyerukan umat manusia untuk berkata baik dan menghindari perkataan buruk. Allah SWT berfirman :

“Dan katakan kepada hamba-hamba-Ku. “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar) sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” QS. 17: 53

”Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” QS. 16:125

Rasulullah SAW bersabda :

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” HR. Muttafaq alaih

“ Takutlah pada neraka, walau dengan sebiji kurma. Jika kamu tidak punya maka dengan ucapan yang baik “ Muttafaq alaih

“Ucapan yang baik adalah sedekah” HR. Muslim.

2.      KEUTAMAAN DIAM

Bahaya yang ditimbulkan oleh mulut manusia sangat besar, dan tidak ada yang dapat menahannya kecuali diam. Oleh karena itu dalam agama kita dapatkan anjuran diam dan perintah pengendalian bicara. Sabda Nabi:

“ Barang siapa yang mampu menjamin kepadaku antara dua kumisnya (kumis dan jenggot), dan antara dua pahanya, saya jamin dia masuk sorga” HR. Al Bukhariy

“Tidak akan istiqamah iman seorang hamba sehingga istiqamah hatinya. Dan tidak akan istiqamah hati seseorang sehingga istiqamah lisannya” HR Ahmad

Ketika Rasulullah ditanya tentang perbuatan yang menyebabkan masuk surga, Rasul menjawab : “Bertaqwa kepada Allah dan akhlaq mulia”. Dan ketika ditanya tentang penyebab masuk neraka, Rasul menjawab : “dua lubang, yaitu mulut dan kemaluan” HR. At Tirmidziy

Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang bisa menjaga mulutnya, Allah akan tutupi keburukannya” HR. Abu Nuaim.

Ibnu Mas’ud berkata : “Tidak ada sesuatupun yang perlu lebih lama aku penjarakan dari pada mulutku sendiri”

Abu Darda berkata : “Perlakukan telinga dan mulutmu dengan obyektif. Sesungguhnya diciptakan dua telinga dan satu mulut, agar kamu lebih banyak mendengar dari pada berbicara.
 

3.      MACAM-MACAM AFATUL-LISAN, PENYEBAB DAN TERAPINYA

Ucapan yang keluar dari mulut kita dapat dikategorikan dalam empat kelompok : murni membahayakan,  ada bahaya dan manfaat, tidak membahayakan dan tidak menguntungkan, dan  murni menguntungkan.

Ucapan yang murni membahayakan maka harus dijauhi, begitu juga yang mengandung bahaya dan manfaat. Sedangkan ucapan yang tidak ada untung ruginya maka itu adalah tindakan sia-sia, merugikan. Tinggallah yang keempat yaitu ucapan yang menguntungkan.

Berikut ini akan kita bahas afatul lisan dari yang paling tersembunyi sampai yang paling berbahaya. Ada dua puluh macam bahaya lisan, yaitu :


1.      Berbicara sesuatu yang tidak perlu

Rasulullah SAW bersabda : “Di antara ciri kesempurnaan Islam seseorang adalah ketika ia mampu meninggalkan sesuatu yang tidak ia perlukan” HR At Tirmidziy

Ucapan yang tidak perlu adalah ucapan  yang seandainya anda diam tidak berdosa, dan  tidak akan membahayakan diri maupun orang lain. Seperti menanyakan sesuatu yang tidak diperlukan. Contoh pertanyaan ke orang lain “apakah anda puasa, jika dijawab YA, membuat orang itu riya, jika dijawab TIDAK  padahal ia puasa, maka dusta, jika diam tidak dijawab, dianggap tidak menghormati penanya. Jika menghindari pertanyaan itu dengan mengalihkan pembicaraan maka menyusahkan orang lain mencari – cari bahan, dst.    

Penyakit ini disebabkan oleh keinginan kuat untuk mengetahui segala sesuatu. Atau basa-basi untuk menunjukkan perhatian dan kecintaan, atau sekedar mengisi waktu dengan cerita-cerita yang tidak berguna. Perbuatan ini termasuk dalam perbuatan tercela.

Terapinya adalah dengan menyadarkan bahwa waktu adalah modal yang paling berharga. Jika tidak dipergunakan secara efektif maka akan merugikan diri sendiri. selanjutnya menyadari bahwa setiap kata yang keluar dari  mulut akan dimintai pertanggung jawabannya. ucapan yang keluar bisa menjadi tangga ke sorga atau jaring jebakan ke neraka. Secara aplikatif kita coba melatih diri senantiasa diam dari hal-hal yang tidak diperlukan.

2.      Fudhulul-Kalam ( Berlebihan dalam berbicara)

Perbuatan ini dikategorikan sebagai perbuatan tercela. Ia mencakup pembicaraan yang  tidak berguna, atau bicara sesuatu yang berguna namun melebihi kebutuhan yang secukupnya. Seperti sesuatu yang cukup dikatakan dengan satu kata, tetapi disampaikan dengan dua kata, maka kata yang kedua ini “fudhul” (kelebihan). Firman Allah : “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh  bersedekah, berbuat ma’ruf, atau perdamaian di antara manusia” QS.4:114.

Rasulullah SAW bersabda : “Beruntunglah orang yang dapat menahan kelebihan bicaranya, dan menginfakkan kelebihan hartanya “ HR. Al Baghawiy.

Ibrahim At Taymiy berkata : Seorang mukmin ketika hendak berbicara, ia berfikir dahulu, jika bermanfaat dia ucapkan, dan jika tidak maka tidak diucapkan. Sedangkan orang fajir (durhaka) sesungguhnya lisannya mengalir saja

Berkata Yazid ibn Abi Hubaib :”Di antara fitnah orang alim adalah ketika ia lebih senang berbicara daripada mendengarkan. Jika orang lain sudah cukup berbicara, maka mendengarkan adalah keselamatan, dan dalam berbicara ada polesan, tambahan dan pengurangan.

3.      Al Khaudhu fil bathil (Melibatkan diri dalam pembicaraan yang batil)

Pembicaraan yang batil adalah pembicaraan ma’siyat, seperti menceritakan tentang perempuan, perkumpulan selebritis, dsb, yang tidak terbilang jumlahnya. Pembicaraan seperti ini adalah perbuatan haram, yang akan membuat pelakunya binasa. Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya ada seseorang yang berbicara dengan ucapan yang Allah murkai, ia tidak menduga akibatnya, lalu Allah catat itu dalam murka Allah hingga hari kiamat” HR Ibn Majah.

“ Orang yang paling banyak dosanya di hari kiamat adalah orang yang paling banyak terlibat dalam pembicaraan batil” HR Ibnu Abiddunya.

Allah SWT menceritakan penghuni neraka. Ketika ditanya penyebabnya, mereka menjawab: “ …dan adalah kami membicarakan yang batil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya” QS. 74:45 

Terhadap orang-orang yang memperolok-olokkan Al Qur’an, Allah SWT memperingatkan orang-orang beriman :”…maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka.” QS. 4:140

4.      Al Jidal (Berbantahan dan Perdebatan)

Perdebatan yang tercela adalah usaha menjatuhkan  orang lain  dengan menyerang dan mencela pembicaraannya, menganggapnya bodoh dan tidak akurat. Biasanya orang yang diserang merasa tidak suka, dan penyerang ingin menunjukkan kesalahan orang lain agar terlihat kelebihan dirinya.

Hal ini biasanya disebabkan oleh taraffu’ (rasa tinggi hati) karena kelebihan dan ilmunya, dengan menyerang kekurangan orang lain.

Rasulullah SAW bersabda : “Tidak akan tersesat suatu kaum setelah mereka mendapatkan hidayah Allah, kecuali mereka melakukan perdebatan” HR. At Tirmidziy

Imam Malik bin Anas berkata : “Perdebatan akan mengeraskan hati dan mewariskan kekesalan”

5.      Al Khusumah (pertengkaran)

Jika orang yang berdebat menyerang pendapat orang lain untuk menjatuhkan lawan dan mengangkat kelebihan dirinya. Maka al khusumah adalah sikap ingin menang dalam berbicara (ngotot) untuk memperoleh hak atau harta orang lain, yang bukan haknya.  Sikap ini bisa merupakan reaksi atas orang lain, bisa juga dilakukan dari awal berbicara.

Aisyah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang bermusuhan dan suka bertengkar” HR. Al Bukhariy

6.      Taqa’ur fil-kalam (menekan ucapan)

 Taqa’ur fil-kalam maksudnya adalah menfasih-fasihkan ucapan dengan mamaksakan diri bersyaja’ dan menekan-nekan suara, atau penggunaan kata-kata asing. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di hari kiamat, adalah orang-orang yang buruk akhlaknya di antara kamu, yaitu orang yang banyak bicara, menekan-nekan suara, dan menfasih-fasihkan kata”. HR. Ahmad

Tidak termasuk dalam hal ini adalah ungkapan para khatib dalam memberikan nasehat, selama tidak berlebihan atau  penggunaan kata-kata asing yang membuat pendengar tidak memahaminya. Sebab tujuan utama dari khutbah adalah menggugah hati, dan merangsang pendengar untuk sadar. Di sinilah dibutuhkan bentuk-bentuk kata yang menyentuh.

7.      Berkata keji, jorok dan caci maki

Berkata keji, jorok adalah pengungkapan sesuatu yang dianggap jorok/tabu dengan ungkapan vulgar, misalnya hal-hal yang berkaitan dengn seksual, dsb. Hal ini termasuk  perbuatan tercela yang dilarang agama. Nabi bersabda :

“Jauhilah perbuatan keji. Karena sesungguhnya Allah tidak suka sesuatu yang keji dan perbuatan keji” dalam riwayat lain :”Surga itu haram bagi setiap orang yang keji”. HR. Ibnu Hibban

Orang mukmin bukanlah orang yang suka menghujat, mengutuk, berkata keji dan jorok” HR. At Tirmidziy. 

Ada seorang A’rabiy (pedalaman) meminta wasiat kepada Nabi : Sabda Nabi : “Bertaqwalah kepada Allah, jika ada orang yang mencela kekuranganmu, maka jangan kau balas dengan mencela kekurangannya. Maka dosanya ada padanya dan pahalanya ada padamu. Dan janganlah kamu mencaci maki siapapun. Kata A’rabiy tadi : “Sejak itu saya tidak pernah lagi mencaci maki orang”.  HR. Ahmad.

“Termasuk dalam dosa besar adalah mencaci maki orang  tua sendiri” Para sahabat bertanya : “Bagaimana seseorang mencaci maki orang tua sendiri ? Jawab Nabi: “Dia mencaci maki orang tua orang lain, lalu orang itu berbalik mencaci maki orang tuanya”. HR. Ahmad.  

Perkataan keji dan jorok disebabkan oleh kondisi jiwa yang kotor, yang menyakiti orang lain, atau karena kebiasaan diri akibat pergaulan dengan orang-orang fasik (penuh dosa) atau orang-orang durhaka lainnya.

8.      La’nat (kutukan)

Penyebab munculnya kutukan pada sesama manusia biasanya adalah satu dari tiga sifat berikut ini, yaitu : kufur, bid’ah dan fasik.  Dan tingkatan kutukannya adalah sebagai berikut :

a.       Kutukan dengan menggunakan sifat umum, seperti : semoga Allah mengutuk orang kafir, ahli bid’ah dan orang-orang fasik.

b.      Kutukan dengan sifat yang lebih khusus, seperti: semoga kutukan Allah ditimpakan kepada kaum Yahudi, Nasrani dan Majusi, dsb.

c.       Kutukan kepada orang tertentu, seperti : si fulan la’natullah. Hal ini sangat berbahaya kecuali kepada orang-orang tertentu yang telah Allah berikan kutukan seperti Fir’aun, Abu Lahab, dsb. Dan orang-orang selain yang Allah tentukan itu masih memiliki kemungkinan lain.

Kutukan yang  ditujukan kepada binatang, benda mati , atau orang tertentu yang tidak Allah tentukan kutukannya, maka itu adalah perbuatan tercela yang haus dijauhi. Sabda Nabi :

“ Orang beriman bukanlah orang yang suka mengutuk” HR At Tirmidziy

“Janganlah kamu saling mengutuk dengan kutukan Allah, murka-Nya maupun jahanam” HR. At Tirmidziy.

“Sesungguhnya orang-orang  yang saling mengutuk tidak akan mendapatkan syafaat dan menjadi saksi di hari kiamat” HR. Muslim

9.      Ghina’ (nyanyian) dan Syi’r (syair)

Syair adalah ungkapan yang jika baik isinya maka baik nilainya, dan jika buruk isinya buruk pula nilainya. Hanya saja tajarrud ( menfokuskan diri) untuk hanya bersyair adalah perbuatan tercela. Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya memenuhi rongga dengan nanah, lebih baik dari pada memenuhinya dengan syair” HR Muslim. Said Hawa mengarahkan hadits ini pada syair-syair yang bermuatan buruk.

  Bersyair secara umum bukanlah perbuatan terlarang jika di dalamnya tidak terdapat ungkapan yang buruk. Buktinya Rasulullah pernah memerintahkan Hassan bin Tsabit untuk bersyair melawan syairnya orang kafir.

10.  Al Mazah (Sendau gurau)

Secara umum mazah adalah perbuatan tercela yang dilarang agama, kecuali sebagian kecil saja yang diperbolehkan. Sebab dalam gurauan sering kali terdapat kebohongan, atau pembodohan teman. Gurauan yang diperbolehkan adalah gurauan yang baik, tidak berdusta/berbohong, tidak menyakiti orang lain,  tidak berlebihan dan tidak menjadi kebiasaan. Seperti gurauan Nabi dengan istri dan para sahabatnya.

Kebiasaan bergurau akan membawa seseorang pada perbuatan yang kurang berguna. Disamping itu kebiasaan ini akan menurunkan kewibawaan.

Umar bin Khatthab berkata : “Barang siapa yang banyak bercanda, maka ia akan diremehkan/dianggap hina”.

Said ibn al Ash berkata kepada anaknya : “Wahai anakku, janganlah bercanda dengan orang mulia, maka ia akan dendam kepadamu, jangan pula bercanda dengan bawahan maka nanti akan melawanmu”

11.  As Sukhriyyah (Ejekan) dan Istihza’( cemoohan)

Sukhriyyah berarti meremehkan orang lain dengan mengingatkan aib/kekurangannya  untuk ditertawakan, baik dengan cerita lisan atau peragaan di hadapannya. Jika dilakukan tidak di hadapan orang yang bersangkutan disebut ghibah (bergunjing).

Perbuatan ini terlarang dalam agama. Firman Allah :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik dari mereka yang mengolok-olok  dan janganlah pula wanita-wanita mengolok-olok wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita yang diolok-olok itu lebih baik dari yang mengolok-olok “ QS. 49:11

Muadz bin Jabal ra. berkata : Nabi Muhammad SAW bersabda : “ Barang siapa yang mencela dosa saudaranya yang telah bertaubat, maka ia tidak akan mati sebelum melakukannya” HR. At Tirmidziy

12.  Menyebarkan rahasia

Menyebarkan rahasia adalah perbuatan terlarang. Karena ia akan mengecewakan orang lain, meremehkan hak sahabat dan orang yang dikenali. Rasulullah SAW bersabda :

 “Sesungguhnya orang yang paling buruk tempatnya di hari kiamat, adalah orang laki-laki yang telah menggauli istrinya, kemudian ia ceritakan rahasianya”.  HR. Muslim

13.  Janji palsu

Mulut sering kali cepat berjanji, kemudian hati mengoreksi dan memutuskan tidak memenuhi janji itu. Sikap ini menjadi pertanda kemunafikan seseorang.

 Firman Allah : “Wahai orang-orang beriman tepatilah janji…” QS 5:1

Pujian Allah SWT pada Nabi Ismail as: “Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya..” QS 19:54

Rasulullah SAW bersabda : “ada tiga hal yang jika ada pada seseorang maka dia adalah munafiq, meskipun puasa, shalat, dan mengaku muslim. Jika berbicara dusta, jika berjanji ingkar, dan jika dipercaya khiyanat” Muttafaq alaih dari Abu Hurairah

14.  Bohong dalam berbicara dan bersumpah

Berbohong dalam hal ini adalah dosa yang paling buruk dan cacat yang paling busuk. Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya berbohong akan menyeret orang untuk curang. Dan kecurangan akan menyeret orang ke neraka. Dan sesungguhnya seseorang yang berbohong akan terus berbohong hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai  pembohong” Muttafaq alaih.

“Ada tiga golongan yang Allah tidak akan menegur dan memandangnya di hari kiamat, yaitu : orang yang membangkit-bangkit pemberian, orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu, dan orang yang memanjangkan kain sarungnya” HR Muslim. 

“Celaka orang berbicara dusta untuk ditertawakan orang, celaka dia, celaka dia” HR Abu Dawud dan At Tirmidziy

15.  Ghibah (Bergunjing)

Ghibah adalah perbuatan tercela yang dilarang agama. Rasulullah pernah bertanya kepada para sahabat tentang arti ghibah. Jawab para sahabat: ”Hanya Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui”. Sabda Nabi: “ghibah adalah menceritakan sesuatu dari saudaramu, yang jika ia mendengarnya ia tidak menyukainya.” Para sahabat bertanya : “Jika yang diceritakan itu memang ada? Jawab Nabi : ”Jika memang ada itulah ghibah, jika tidak ada maka kamu telah mengada-ada” HR Muslim. 

Al Qur’an menyebut perbuatan ini sebagai memakan daging saudara sendiri (QS. 49:12)

Ghibah bisa  terjadi dengan berbagai macam cara, tidak hanya ucapan, bisa juga tulisan, peragaan. dsb.

Hal-hal yang mendorong terjadinya ghibah adalah hal-hal berikut ini :

1.      Melampiaskan kekesalan/kemarahan

2.      Menyenangkan teman atau partisipasi bicara/cerita

3.      Merasa akan dikritik atau dcela orang lain, sehingga orang yang dianggap hendak mencela itu jatuh lebih dahulu.

4.      Membersihkan diri dari keterikatan tertentu

5.      Keinginan untuk bergaya dan berbangga, dengan mencela lainnya

6.      Hasad/iri dengan orang lain

7.      Bercanda dan bergurau, sekedar mengisi waktu

8.      Menghina dan meremehkan orang lain

`Terapi ghibah sebagaimana terapi penyakit akhlak lainnya yaitu dengan ilmu dan amal.

Secara umum ilmu yang menyadarkan bahwa ghibah itu berhadapan dengan murka Allah. Kemudian mencari sebab apa yang mendorongnya melakukan itu. Sebab pada umumnya penyakit itu akan mudah sembuh dengan meotong penyebabnya.

Menceritakan kekurangan orang lain dapat dibenarkan  jika terdapat alasan berikut ini:

1.      Mengadukan kezaliman orang lain kepada qadhi

2.      Meminta bantuan untuk merubah kemunkaran

3.      Meminta fatwa,seperti yang dilakukan istri Abu Sufyan pada Nabi.

4.      Memperingatkan kaum muslimin atas keburukan seseorang

5.      Orang yang dikenali dengan julukan buruknya, seperti al a’raj (pincang), dst.

6.      Orang yang diceritakan aibnya, melakukan itu dengan terang-terangan (mujahir)



Hal-hal penting yang harus dilakukan seseorang yang telah berbuat ghibah adalah :

1.      Menyesali perbuatan ghibahnya itu

2.      Bertaubat, tidak akan mengualnginya lagi

3.      Meminta maaf/dihalalkan dari orang yang digunjingkan. 

 16.  Namimah (adu domba)

Namimah adalah menyampaika pembicaraan seseorang kepada orang lain

17.  Perkataan yang berlidah dua

18.  Menyanjung

19.  Kurang cermat dalam berbicara (asal bunyi)

20.  Melibatkan diri secara bodoh pada beberapa pengetahuan dan pertanyaan yang menyulitkan