Al Iltizam
Iltizam adalah suatu komitmen yang lahir dari dalam diri
(wa’yu dzati) dan bukan sesuatu yang bersifat kamuflase
(kepura-puraan)ataupun paksaan.
Menurut Fathi Yakan, iltizam adalah sebuah
komitmen terhadap Islam dari hukum-hukumnya secara utuh dengan menjadikan Islam
sebagai siklus kehidupan, tolak pikir dan sumber hukum dalam setiap tema
pembicaraan dan permasalahan. Sebagaimana perintah Allah Taala dalam, QS. 2:208
agar seorang muslim masuk ke dalam Islam secara kaffah.
Jika seorang muslim telah menjadikan Islam sebagai titik
tolak berfikir dalam segala hal maka sikap dan perilakunya bukan sekadar
dibuat-buat melainkan dilakukan dengan kesadaran.
Dari ilmu dan pemahaman diharapkan menumbuhkan keyakinan
dan iman yang kemudian mensibghah dan pada akhirnya membentuk sikap
serta perilaku yang Islami.
Imam syahid Hasan Al-Bana membagi manusia ke dalam tiga
kelompok berdasarkan pemahaman dan tingkatan akidahnya:
Kelompok yang menerima iman Islam secara doktrin atau
dogmatis yang tidak disertai ilmu dan pemahaman yang memadai. Kualitas
keyakinannya minim dan biasanya berubah menjadi keragu-raguan bila ada hal yang
menimbulkan keraguan pada dirinya.
Kelompok yang menerima iman Islam karena sesuai dengan logika
dan pemikiran bila diungkapkan dengan dalil-dalil berupa logika qurani, maka
keimanan dan keyakinan semakin mantap dan bertambah kuat. Hanya saja amalnya
masih kurang nampak atau belum terealisir secara baik. Jadi keyakinannya baru
sampai tataran logika.
Kelompok yang menerima iman Islam karena memadukan unsur
pikir, pemahaman dan ketaatan. Jadi semakin yakin ia akan semakin taat
melaksanakan amal shaleh dan memperbaiki ibadahnya hatinya selalu diterangi
cahaya Allah.
Indikasi-Indikasi Iltizam
Paling tidak harus ada dua indikator yang menunjukkan
bahwa seseorang memiliki iltizam atau komitmen:
Ada indikator lahiriah yang jelas dan kongkrit. Misalnya
seorang muslim yang shaleh akan hampir selalu terlihat shalat berjamaah di
masjid atau muslimahnya menutup aurat dengan memakai jilbab. Jadi logikanya
tidak bisa dibalik bahwa orang yang shalat di masjid belum atau muslimah
berjilbab belum tentu baik. Hal tersebut di atas memang tidak bisa
digeneralisir dan kita sulit mengatakan seseorang memiliki iltizam jika ia
enggan shalat atau enggan ke masjid dan enggan menutup aurat.
Adanya muraqabah dzatiyah. Kita memang tidak boleh
hanya mengandalkan muta ba’ah zhahiriyah, melainkan juga harus
menumbuhkan muraqabah dzatiyah agar amal yang dilakukan tidak dinodai
kepura-puraan, kamuflase, nifaq, dan riya. Artinya di manapun dan dalam situasi
dan kondisi yang bagaimanapun apakah ada orang atau tidak, giat atau malas,
suka atau tidak suka, dicaci atau di puji kita tetap konsisten dalam melakukan
amal shaleh. Sebagaimana Rasulullah saw. berpesan kepada seorang sahabat yang
belum mau pulang atau kembali ke daerah asalnya untuk berdakwah.
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ
تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada dan
iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik. Dan pergaulilah manusia dengan
akhlak yang baik.”
Urgensi Iltizam
Iltizam merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi
seorang muslim apalagi bagi aktivis Islam atau para dai, karena iltizam
merupakan indikasi amal yang sangat diperlukan dalam konteks kehidupan
berjamaah.
Tidak mungkin ahdaful jamaah dapat terealisir
tanpa ada junud atau anggota-anggota jamaah yang akan melaksanakan ahdaf
dan beriltizam terhadap uslub untuk mencapai ahdaf tersebut.
Hasan Al-Bana menegaskan bahwa awal kesiapan seseorang
untuk memasuki tahapan takwin dan tanfidz ialah jika ia memiliki at
thaat kaamilah atau ketaatan yang sempurna. Oleh karena itu sasaran atau ahdaf
dalam berjamaah tidak akan terwujud tanpa adanya junud yang komit atau
berilitizam dalam melaksanakan uslub untuk mencapai ahdaf.
Padahal jamaah Islam sebagai sebuah harakah yang
tertata memiliki ahdaf (tujuan-tujuan) dan berusaha untuk mencapainya ahdaf
yang dimaksud ialah mendapatkan mardhatillah, meninggikan kalimat Allah,
mengibarkan panji-panji Islam kemudian menegakkan Islam di seluruh muka
bumi.
Dalam mencapai ahdaf tersebut jamaah memiliki aqayiz
dan auzan (kriteria-kriteria dan aturan-aturan). Berdasarkan
kriteria-kriteria dan aturan-aturan tersebut diseleksilah para dai dan aktivis
yang layak untuk terlibat dalam jamaah (jadi memiliki pola taqwim).
Beberapa di antara kriteria tersebut adalah thaat, iltizam, dan jiddiah
(kesungguh-sungguhan).
Sehingga sekalipun ada seorang ulama yang paling bertaqwa
atau wara’ namun tidak mau komit atau beriltizam, maka ia tidak layak
masuk jamaah dan tidak dianggap sebagai anggota atau a’dha jamaah,
melainkan sekadar sebagai seorang muslim yang dicintai jamaah.
Kualitas seorang a’dha dalam jamaah dapat dilihat
dari sejauh mana kualitas iltizamnya. Semakin besar kadar keiltizamannya
seseorang berdasarkan kriteria-kriteria tersebut di atas, maka semakin berbobot
pula kualitas dirinya.
Dua Jenis Iltizam
Iltizam secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua
bagian yakni iltizam terhadap syariat dan iltizam terhadap jamaah.
Iltizam terhadap syariat meliputi aqidah salimah, ibadah
shahihah, akhlaq hamidah, dakwah wal jihad, syumul wa tawazun. Sedangkan
iltizam terhadap jamaah melingkupi bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq, qararat
dan taat kepada pemimpin.
Dimilikinya kedua jenis iltizam tersebut dalam diri
seseorang diharapkan akan membentuk manusia yang utuh (insan mutakamil).
1. Iltizam terhadap Syariat
Beriltizam atau memiliki komitmen terhadap aqidah shahihah.
Yang dimaksud dengan aqidah salimah ialah akidah yang sehat, bersih dan
murni terbebas dari segala unsur nifaq dan kemusyrikan. Dalam QS 2: 165
disebutkan bahwa ada orang–orang yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah
sebagai tandingan bagi Allah. Dan mereka mencintai ilah-ilah tandingan tersebut
sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat
dicintainya kepada Allah, dari ayat tersebut terlihat bahwa kita tidak boleh
mengambil sesuatu selain Allah sebagai Tuhan yakni sesuatu yang dicenderungi,
dicintai, disembah dan mendominasi hidup kita. Demikian pula dalam segala hal
prioritas cinta, kita harus meletakkan cinta kepada Allah dan kemudian jihad di
jalan-Nya sebagai prioritas pertama dibanding dengan orang tua, anak,
suami/istri, kerabat, harta perniagaan atau rumah kediaman (QS 9: 24), seperti
nampak pada keikhlasan muhajirin meninggalkan segala-galanya yang ada di Makkah
dan keridhaan para sahabat Anshar untuk menolong mereka. Bagi mereka ridha
Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya.
Beriltizam atau berkomitmen terhadap ibadah yang salimah
dan istimrar (kontinyu). Seorang a’dha sebagai muslim memiliki kewajiban
untuk melakukan ibadah yang shahih terbebas dari segala bid’ah dan
khurafat. Dan ia terikat kepada kewajiban tersebut. Sayid Qutb pernah
mengatakan bahwa kualitas iltizam seseorang pertama-tama diukur dari
komitmennya terhadap shalat baik dari segi ketepatan waktu maupun
kekhusyuannya. Shalahuddin Al-Ayyubi, pahlawan pembebasan Al-Quds selalu
memantau di malam hari sebelum perang siapa-siapa saja yang tendanya terang
karena menegakkan shalat malam dan tilawah Al-Quran dan mereka itulah yang
kemudian diberangkatkan ke medan jihad keesokan harinya. Dan ada seorang ulama
salafus shaleh yang memimpikan Junaid Al-Baghdadi setelah ia wafat. ketika
ditanya apa yang diperhitungkan oleh Allah terhadapnya. Ia ternyata menjawab,
“Hilang semua amalku tak ada yang memberi manfaat kecuali beberapa rakaat di
waktu malam. Hal itu menunjukkan bobot nilai shalat tahajud.
Memiliki komitmen atau beriltiazam kepada akhlaq
hamidah (akhlak terpuji). Akhlaq hamidah jelas harus dimiliki oleh
seorang a’dha yang beriltizam. Dan akhlaq hamidah yang dimaksud tentu
saja akhlak yang Islami dan qurani. Sebagaimana mana Rasulullah diutus untuk
menyempurnakan akhlak manusia dan dipuji Allah sebagai orang yang berbudi
pekerti agung. (QS 68: 4) Aisyah ra. Mengatakan bahwa akhlak beliau adalah
Al-Quran. Artinya jika ingin melihat bagaimana Al-Quran dijabarkan secara
konkret dalam sikap, perilaku, dan tindak tanduk di segala aspek kehidupan,
lihatlah diri Rasulullah. Rasulullah boleh dikatakan “the living quran” atau
Al-Quran yang hidup. Bila seorang dai memiliki akhlak yang Islami ia akan
mendapat manfaat antara lain bahwa dirinya patut menjadi teladan. Akhlak
terpujinya itu juga menjadi daya tarik dakwah dan dirinya juga akan selalu
terhindar dari fitnah. Rasulullah saw misalnya pernah dikatakan dukun, tukang
sihir, gila dan sebagainya, tetapi akhirnya fitnah-fitnah itu terlepas dengan
sendirinya melihat keutamaan pribadi Rasulullah. Begitu pula fitnah keji berupa
tuduhan zina terhadap ummul mukiminin Aisyah ra yang dikenal dengan peristwa ‘haditsul
ifki’. Beliau akhirnya mendapatkan pembelaan langsung dari Allah dalam
surat An-Nur.
Komit atau memiliki iltizam terhadap dakwah wa
jihad, dakwah dan jihad. Seorang a’dha yang memiliki komitmen
terhadap jamaah dengan harakah, tentu saja harus memiliki iltizam
terhadap dakwah dan jihad. Dakwah dan jihad memang tidak bisa dipisahkan satu sama
lain seperti dua sisi mata uang. Dakwah adalah upaya untuk meraih keberuntungan
di sisi Allah dengan jalan menyeru kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat ma’ruf
dengan mencegah yang mungkar (QS 3: 104). Sedangkan keutamaan jihad sudah tidak
diragukan lagi. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Barang siapa
yang tidak pernah melakukan jihad dan tidak pernah berniat untuk berjihad, maka
matinya dalam keadaan mati jahiliyah” jihad memang dapat dilakukan dengan
berbagai bentuk seperti jihad bil mal, bil lisan, dan lain-lain, namun
jihad tertinggi adalah qital. Ada konsekuensi logis ketika seseorang
beriltizam pada jihad yakni ia juga harus beriltizam terhadap segala sesuatu
yang merupakan persiapan untuk itu seperti tarbiah takwiniah yang istimrar
dan lain-lain.
Berkomitmen atau beriltizam terhadap syumul wa
tawazun. Dienul Islam ajaran yang syamil (integral, komprehensif)
dan mutakamil (utuh) serta mutawazinah (seimbang). Pendek kata Islam
adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah (QS 5:3, 3:19) Sebagaimana alam
semesta diciptakan sempurna, tidak ada kekurangan (QS 67: ) dan dalam harmoni tawazun
(keseimbangan) seperti dalam (QS 55: 7-9), maka manusia pun bagian dari alam
semesta diciptakan Allah dalam keadaan sebaik-baik rupa (QS 95: ). Umat Islam
juga dikatakan sebagai “umatan wasatha’“ (umat pertengahan). Ajaran
sarat dengan kesyumuliahan dan ketawazunan. misalnya ajaran Islam
menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai dari hal sepele sampai yang paling
berat dan kompleks, (syamil). Kemudian Islam mengajarkan manusia berikhtiar
maksimal (QS 13: 11) tetapi juga menyuruh bertawakal (QS 65: ). Islam melarang
manusia kikir, tetapi juga tidak membolehkan berlaku boros, israf
ataupun melakukan kemubadziran. Jadi seorang a’dha dalam Iltizamnya
terhadap syariah harus memiliki komitmen pada syumuliatul dan ketawazunan
Islam.
2. Al-Iltizam Bil Jamaah
a. Iltizam terhadap bai’ah.
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ
وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ
وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ
فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin,
diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang
pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji
yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang
lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual
beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 9:
111)
Satu-satunya ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah
harta dan jiwa, tetapi mendahulukan jiwa adalah ayat di atas. Dan transaksi
‘jual-beli’ antara Allah sebagai pembeli dan mukmin sebagai penjual ini erat
kaitannya dengan masalah bai’ah. Sikap iltizam terhadap bai’ah yang
telah diucapkan nampak jelas pada tokoh Anshar, Nusaibah binti Ka’ab dan Habibi
bin Zaid. Nusaibah dengan bai’ah Aqabah II, bertempur mati-matian melindungi
dan menjadi perisai Rasulullah di perang Uhud tatkala kebanyakan tentara Islam
lain kocar-kacir panik terhadap serangan balik mendadak Khalid bin Walid. Atau
Habib bin Zaid yang disiksa Musailamah Al-Kadzab karena tidak mau mengakuinya
sebagai nabi, tidak rela menodai bai’ah yang telah Habib bin Zaid diucapkannya
walaupun untuk itu ia harus menebusnya dengan nyawa. Tubuhnya dicabik-cabik dan
disayat-sayat selagi masih hidup. Sekali kita mengucapkan bai’ah seumur hidup
kita terikat untuk beriltizam kepadanya.
b. Komit terhadap ansyithah (kegiatan-kegiatan) baik yang
kharijiah (eksternal) maupun dakhiliyah (internal). Seorang a’dha
seyogianya memiliki komitmen terhadap semua ansyithah (kegiatan) dalam
jamaah baik yang bersifat dakhiliyah (internal) maupun kharijiah
(eksternal). Kegiatan internal seperti berusaha selalu hadir dengan tepat waktu
dalam acara rutin liqa’ usari dan liqa’ tatsqifi serta daurah-daurah
pembekalan dan pengayaan seperti daurah siyasi, daurah murabbi, jalasah
ruhiyah dan lain-lain yang diadakan secara berkala. Kemudian bila jamaah
terutama dalam era hizbiyah/kepartaian ini banyak melakukan
manuver-manuver keluar seperti bakti sosial di daerah-daerah bencana,
pengerahan logistik berupa nasi bungkus untuk acara ‘muzhaharah’,
penggalangan masa atau demo, tentu saja semuanya harus diikuti pula dengan
penuh semangat. Intensitas keterlibatan kita yang tinggi dengan semua kegiatan
jama’ah insya Allah akan membuat iltizam kita kepada jamaah semakin kokoh.
c. Beriltizam terhadap wazhifah (tugas-tugas) yang
dibebankan jamaah kepadanya. Iltizam atau komitmen terhadap tugas yang
dipikulkan pada kita merupakan aspek yang pokok dan mendasar dalam hubungan
struktural tanzhim, seorang a’dha harus menyesuaikan diri dengan
segala tugas yang dipikulkan ke pundaknya. Baik tugas itu disukai atau tidak
dan baik ia sedang rajin maupun malas. Bukan tugas atau wadzhifah yang
harus disesuaikan dengan kondisi dirinya, melainkan a’dha tersebut yang
harus menyesuaikan diri dengan tugas-tugas yang diamanahkan kepadanya. Sikap
seorang a’dha dalam masalah wadzhifah tanzhimiyah hendaklah
bijak. Ia tidak akan pernah mencari-cari atau meminta jabatan ataupun wadzhifah
tanzhimiyah, namun bila kemudian diamanahi, ia tidak boleh mengelak atau
menolak. Seperti Said bin Amir yang dimarahi oleh Umar bin Khathab karena tidak
mau mengemban amanah sebagai gubernur di Himsh (Suriah sekarang). “Celaka
engkau hai Said, kau bebankan di pundakku beban yang berat (dibaiah sebagai
amirul mu’minin), tetapi kau tak mau membantuku “ Akhirnya barulah Said bin
Amir mau menerima amanah tersebut.
d. Iltizam atau komit terhadap infaq, baik yang wajib
maupun yang sunnah. Sahabat ada yang pernah meminta cuti atau dispensasi
(keringanan) dalam hal jihad dan infaq. Rasulullah pun menjawab dengan sangat
tajam, “Wa la shadaqah wa la jihadu fiima tadkhulul jannata araan? “Tidak
mau bersedekah dan tidak berjihad, jadi
dengan apa kalian akan memasuki surga“. Keutamaan berinfaq atau berjuang
dengan harta dan jiwa (QS 9: 111, 61:10-11) sangat sering diungkapkan dalam
firman-firman Allah. Bahwa ia akan membalasnya dengan beratus-ratus kali lipat,
bahkan dengan surga. Bahkan contoh-contoh keutamaan Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin Auf, Sa’ad bin Raby, Abu Thalhah dan
Ummu Sulaim, Aisyah dan Asma binti Abu Bakar, Zainab binti Jahsy, Khadijah, dan
lain-lain terukir indah dalam sejarah Islam. Maka suatu kewajaranlah bila kita
yang telah berbaiat ini terikat untuk memenuhi kewajiban berinfaq, baik yang
wajib maupun yang sunnah.
e. Beriltizam terhadap qararat (keputusan-keputusan)
jamaah. Seorang a’dha muntadzim yang bukan hanya beriltizam terhadap syariat
tetapi juga pada jamaah seharusnya selalu berada dalam shaf jamaah. Ia berusaha
menjalankan tugasnya sebaik-baiknya di manapun ia diputuskan oleh jamaah untuk
ditempatkan. Bahkan dalam hadits dikatakan, “Surga untuk seorang hamba jika
ia mendapat bagian jaga ia berjaga dengan baik.” Ia pun akan komit pada
kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan jamaah dalam amal dan uslub
dakwah. Ia terikat dengan keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan jamaah
dengan perintah-perintah qiyadah. Sekalipun bertentangan dengan
keinginan dan pendapat pribadi. Hendaknya kita harus selalu berprasangka baik
bahwa keputusan tersebut adalah yang paling tepat untuk mendatangkan
kemaslahatan. Kita bisa mengambil ibrah dari fiqhus shalat agar
senantiasa taat dan husnuz zhan pada qiyadah. Dalam shalat bila
kita sebagai ma’mum sedang membaca al-fatihah, tetapi imam sudah takbir akan
ruku, kita harus segera mengikuti imam, walaupun kita belum siap atau belum
selesai membaca al-fatihah.
f. Komit terhadap “tha’atul qiyadah” taat terhadap
pemimpin. Ketaatan seorang muslim yang total, utuh dan bulat, memang hanya
kepada Allah dan Rasul-Nya (QS 3: 31, 32, 132, 4: 59, 80). Namun di ayat 4: 59
itu pun disebutkan kewajiban taat kepada pemimpin atau ulil amri yang
beriman sepanjang tidak dalam rangka kemaksiatan dijalan Allah. Karena laa
thaata li makhluqin fi ma’siatil Khaliq’ (tidak ada kewajiban taat
kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Sang Pencipta). Seorang a’dha
yang telah mengucapkan bai’ah untuk taat dalam giat atau malas, suka
atau tidak suka keadaan harus menaati qiyadahnya atau naqibnya
sebagai sosok kepemimpinan dalam jamaah yang terdekat dengannya.
Untuk mengefektifkan iltizam seorang a’dha baik dalam ruang
lingkup syar’i maupun tanzhimi, hendaknya seorang a’dha memiliki pemahaman yang
baik tentang perjalanan yang benar dalam melakukan amal Islam yang kemudian
keimanan dan ketakwaan yang senantiasa terjaga.
Iltizam kepada kewajiban-kewajiban syariah membuat
seorang muslim menjadi syakhshiyah muslimah atau pribadi Islami. Segala
sikap dan tindak–tanduknya tidak akan menyimpang dari koridor syar’i.
Dan bila ia kemudian memiliki cita-cita luhur tak hanya
ingin menjadi shalih atau shalihah, namun juga berusaha membuat orang lain
menjadi shalih (muslih), maka ia akan berjuang bersama dalam sebuah
jamaah atau gerakan dakwah. Ia bergabung dengan harakah yang bertujuan
membebaskan negeri-negeri Islam, menyadarkan umatnya dalam menyerukan
kalimat-Nya di muka bumi. Bergabungnya ia dengan gerakan dakwah tersebut
membuat ia terikat atau beriltizam dengan kewajiban-kewajiban yang ada dalam
jamaah tersebut. Maka jadilah syaksiah harakiah atau pribadi yang haraki,
dinamis bergerak dan berjuang.
Seorang a’dha yang dalam dirinya terdapat kedua
jenis iltizam tadi, maka ia muncul menjadi syakhshiyah muslimah mutakamilah
atau pribadi Islami yang utuh.
Semakin banyak orang yang terbentuk menjadi syakhshiyah
muslimah mutakamilah insya Allah harapan Syahid Sayid Qutb, “A- Mustaqbal
li haadza dien” (Masa Depan Di Tangan Islam) akan dapat terwujud. Amin
Wallahu a’lam Bishowab.
rahmatfadila