Siapa Aku !
“……maka janganlah kamu mengatakan
dirimu suci, Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm [53] : 32 ).
Mengetahui
dan menyadari kesalahan adalah awal kebaikan. Sementara merasa benar terus
adalah awal dari kehancuran. Kesalahan memang merupakan tabiat manusia, namun
tidaklah bijaksana bila kita terus menerus melanggengkan kesalahan apalagi
mewariskannya kepada anak dan keturunan terlebih lagi generasi bangsa ini,
Allah swt mengingatkan kita untuk mawas diri :
“dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar “ (
QS. An Nisa [4] : 9 ).
Ayat
ini juga mengingatkan kita bahwa ada keterkaitan yang erat, antara kuat atau
lemahnya generasi penerus bangsa ini, dengan ketakwaan dan kebenaran ucapan
orang tua atau pembinanya. Oleh karena itu sepantasnyalah kita selalu mawas
diri jangan sampai kita mewariskan keburukan kepada generasi kita. Yakni
keburukan dari segala hal baik ucapan, pola fikir, akhlaq dan kebiasaan buruk
lainnya.
Hendaklah
kita menjadi pribadi yang malu bila berbuat salah. Malu kepada Allah dan malu
kepada orang-orang beriman. Tidak cukup sekadar mengetahui bahwa diri kita
salah, tetapi kita begitu manja meminta permakluman dari Allah yang Maha
Pengampun dan Maha Penerima Tobat. Yang harus kita lakukan bukan hanya menjauhi
kesalahan-kesalahan yang besar dan fatal tetapi juga berusaha menghindarkan
diri dari kekeliruan-kekeliruan kecil. Sebab apapun bentuknya bila kita sadar
melakukan kesalahan tetap saja itu merupakan dosa.
Saudaraku
saya teringat,,, akan tulisan di media facebook dari seseorang yang menulis “kenapa
kita harus mengulangi kesalahan yang sama ! padahal masih banyak kesalahan yang
lain yang bisa kita coba ! “ Ungkapan ini memang singkat namun bisa
berkonotasi buruk, saya katakan “kenapa mesti mencoba setiap kesalahan yang baru
? bukankah bisa belajar dari kesalahan orang lain, atau justru kita menghindari
agar tidak berbuat salah seperti orang lain ! karena banyak ayat di dalam Al-Qur’an
yang memberikan pelajaran bagi kita, tentang orang-orag yang berbuat kesalahan,
agar kita tidak mencontoh mereka untuk mengulangi kesalahan yang sama.
Siapa
pun kita pasti pernah terjatuh pada kesalahan. Tugas kita adalah memohon ampun
dan bertobat kepada Allah. Untuk kesalahan pada sesama manusia tentu saja kita
harus meminta maaf lebih dulu kepada mereka. Jangan gengsi untuk mengakui
kesalahan. Jangan sampai kita berbohong untuk membela kesalahan kita. Apalagi
kita berargumen untuk membela kesalahan tersebut dan meminta orang lain
menganggap bahwa kesalahan kita adalah kebenaran, na’udzubillahi min dzalik
Allah
paling mengetahui tentang diri kita dan melebihi pengetahuan kita. Maka
janganlah kita merasa diri kita bersih dan merasa diri paling benar. Kalaupun
kita benar dan orang lain salah kita tidak boleh melecehkan kesalahannya. Kalau
kita tidak ingin aib kita dibuka orang lain maka jangan buka aib orang lain.
Meluruskan diri sendiri dan orang lain tidak perlu dengan cara membuka aib.
Cukuplah kita meminta ampun kepada Allah dan melakukan langkah-langkah
perbaikan yang lebih menjaga kehormatan diri dan orang lain. Terkadang ada orang yang karena kesalahannya
terlanjur dibeberkan menjadi malu dan bersikap antipati, bukan hanya kepada
yang membeberkan tetapi juga kepada wadah di mana si pembeber aib bernaung.
“Janganlah karena engkau orang jadi benci terhadap Islam”(Al Hadits). Kebenaran
harus diperjuangkan dengan cara yang benar pula, al ghaayah laa tubarrirul
wasiilah (tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara).
Jadi
masalahnya bukan tidak boleh mengungkap kesalahan orang lain, tapi bagaimana
caranya agar pengungkapan itu tidak membawa dampak negative bagi yang
bersangkutan: menghalanginya dari jalan Allah. Teruslah memperjuangkan
kebenaran. Jantanlah mengakui kesalahan dan bijaksanalah dalam meluruskan
kesalahan orang lain. Keberhasilan berawal dari kesadaran akan kesalahan,
sehingga setiap pribadi senantiasa terus memperbaiki diri menuju kepada
kesempurnaan.
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu” ( QS. Al Baqarah [2] : 208).
Dan salah satu langkah-langkah Syaiton adalah
menghembuskan aura-aura permusuhan di kalangan ummat Islam agar umat ini tak
pernah akur, terlebih lagi membicarakan aib orang menjadi subur bak jamur di
musim penghujan bahkan menjadi mata pencarian di beberapa kalangan infotaimen
untuk mendapatkan uang dengan mengorek-ngorek kesalahan orang ! Astagfirullah.
Saudaraku Allah swt memberikan rambu –
rambu kepada kita didalam Al Qur’an :
“
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan)
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. dan (juga)
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka
tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”. (
QS. Ali Imron [3] : 134-135 ).
Saudaraku…
Sirah mencatat pengakuan seorang wanita Al Ghamidiyah yang telah
terjatuh kepada perzinahan. Bukan hanya sekadar mengaku tetapi wanita tersebut
ingin bertobat dan minta dirajam. Saat itu Rasulullah menyuruh wanita tersebut
melahirkan dan menyusui dulu anak dari hasil perzinahan tersebut. Setelah si
anak sudah disapih barulah dilaksanakan hukum rajam. Dalam peristiwa itu
terucap dari lisan Rasul bahwa wanita tersebut dijamin masuk surga.
Hikmah
yang bisa kita petik dari kisah di atas adalah betapa dengan pemahaman yang
seadanya saja seseorang berani mengakui kesalahannya. Maka sepantasnyalah
mereka yang memiliki pemahaman yang dalam lebih bersikap kesatria mengakui
kesalahannya. Tidak cukup sekadar mengakui kesalahan tetapi harus dilanjutkan
dengan tobat, kembali kepada kebenaran. Bila mengakui kesalahan tetapi tetap
berkubang di kemaksiatan bagaikan kuda nil yang berkubang di lumpur kotor dan
bau. Bertobat berarti mau membersihkan diri, bersedia dihukum dan siap
melakukan hal-hal yang dapat menghapus kesalahannya. Rajam adalah salah satu
bentuk hukuman sekaligus penyucian. Dan tentu saja harapan utama yang ingin
dicapai adalah keridhaan Allah dan surganya. Bagi yang berwenang untuk
melaksanakan hukuman tentu harus bijaksana sebagaimana Rasul. Jangan jijik dan
sinis mengetahui kesalahan orang lain. Hantarkan kesalahan orang menuju kepada
tobatnya. Mengantarkan si salah untuk meraih surga. Bukan membuat dia putus
asa, mengurung diri atau, na’udzubillahi min dzalik, bunuh diri. Kalau kita ingin orang lain
memaklumi kesalahan kita dan memberi kesempatan kita untuk berbenah diri maka
kita juga harus mau memaklumi kesalahan orang lain dan memberinya kesempatan
bertobat.
Berkenaan dengan sosialisasi penjatuhan sanksi
seyogyanya saudaraku yang budiman memandangnya sebagai sarana bersuci. Inilah
kesempatan untuk lebih menyelami arti haasibuu anfusakum qabla antuhaasabuu.
Kita bahkan harus merasa dibantu oleh saudara-saudara kita lewat program
tersebut. Tentunya program ini berlaku bagi semua. Tidak ada yang kebal hukum.
Fatimah pun kalau mencuri pasti dipotong tangannya oleh Rasul. Maka di manapun
posisi kita dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam struktur yayasan misalnya,
kita harus berani mengakui kesalahan, dan tentu saja juga siap dikenakan
sanksi. Namun jangan kaget bila ada orang yang kita hormati atau kita kagumi
suatu ketika juga terkena sanksi. Itu manusiawi. Bahkan itu menunjukkan
kematangan tokoh kita tersebut (mau mengakui kesalahannya). Semua benda yang tidak
steril (bukan nabi) pasti berdebu, pasti punya salah dan dosa. Maka jangan kita
biarkan debu itu melekat, mari sama-sama bersihkan dengan semangat bersuci diri
; “ sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya dan merugilah orang
yang mengotorinya” ( QS. Asy Syams [91] : 9-10 ).
Betapa kita menyadari
seringkali kita gagal untuk terus bertahan dalam kebaikan. Mungkin itu
disebabkan karena kita terlalu menganggap remeh kesalahan atau terlalu memanjakan diri dengan sifat Allah yang Maha
Pengampun. Dengan penjatuhan sanksi kita terbiasa untuk lebih waspada terhadap
kesalahan. Hukuman manusia masih begitu ringan. Terkadang masih terbalut dengan
rasa kasihan dan permakluman. Semoga dengan terbiasa menjaga diri agar
terhindar dari penjatuhan sanksi insya Allah akan mengantarkan kita untuk
terbiasa menghindari dosa agar selamat dari azab Allah nanti di yaumil akhir.
….maka barang siapa yang dijauhkan
dari siksa neraka dan dimasukkan ke dalam surga sungguh sangat beruntunglah
ia……( QS. Ali Imron [3] : 185 ).
rahmat fadila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar