Minggu, 15 Juli 2012


Mengkaji Ulang Valentine's Day
Oleh: Feri Firmansyah, Lc.

Boleh jadi tanggal 14 Februari, merupakan hari yang sangat dinanti-nanti oleh anak-anak muda, karena di samping mendatangkan "keindahan" juga merupakan waktu yang tepat untuk mencari, menukar dan mengganti pasangan. Kedengarannya memang seperti barang saja yang bisa ditukar, diganti dan dicari dengan mudah, tapi itulah kenyataannya. Sikap orang (termasuk sebagian kaum muslimin) terhadap moment tahunan yang biasa kita kenal dengan hari kasih sayang atau Valentine’s Day.
Bahkan disebagian tempat, untuk merayakan hari kasih sayang ini, mereka mengadakan hiburan-hiburan malam dengan acara yang super wah. Tidak tanggung, seolah tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada, acara Hari Kasih Sayang ini digelar semalam suntuk mulai dari jam pulang kantor sampai jam masuk kantor kembali. Innalillah wa nastaghfiruh.
Anehnya, apabila ditanya bagaimana sejarah dan mengapa disebut Hari Valentine atau Hari Kasih Sayang, umumnya membisu, dan tidak tahu. Seolah itu adalah warisan leluhur yang harus dirayakan dan diperingati secara besar-besaran. Apalagi bagi seorang muslim, mengetahui akar sejarah adanya Valentine’s Day merupakan sebuah keniscayaan, agar kita tidak terjerumus pada amal yang bertentangan dengan syariat.
Tidak ada sejarah yang seragam dan jelas tentang asal muasal Valentine's Day ini. Semua buku dan sejarah memberikan cerita yang berlainan. Beberapa sumber mengatakan bahwa Valentine's Day ini merupakan warisan dari upacara perayaan Orang-orang Romawi Kuno yang disebut dengan Lupercalia. Para ahli lainnya mengaitkan kejadian ini dengan kisah terbunuhnya beberapa Saint (santo) yang terjadi di gereja Kristen. Masih dari sumber yang lain, kejadian ini erat kaitannya dengan kepercayaan orang-orang Inggris kuno bahwa pada tanggal 14 Pebruari lah burung-burung jantan memilih pasangannya. Valentine's Day ini besar kemungkinan berasal dari penggabungan ketiga sumber di atas ditambah dengan kepercayaan bahwa musim semi adalah waktu yang tepat untuk para pejatuh cinta"
Keberagaman cerita seputar Valentine's Day ini membuat orang-orang Kristen sendiri mempertanyakan kembali keabsahan cerita ini. Bahkan, tidak sedikit dari para pendeta Kristiani yang menolak dan melarang penganutnya untuk merayakan hari ini karena dinilai mengikuti tradisi dan upacara agama lain yakni agama paganisme (penyembah berhala) Romawi.
Menurut cerita yang lebih terpercaya, perayaan Valentine's Day ini sesungguhnya berawal dan bersumber dari perayaan pada masa Romawi Kuno yang sering disebut dengan Perayaan Lupercalia. Perayaaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno yang dilakukan selama 6 hari sejak tanggal 13-18 Februari. Perayaan dua hari pertama, khusus dipersembahkan untuk Dewi Cinta (queen of feverish love) yang bernama Juno Februata. Pada perayaan dua hari ini, nama gadis-gadis ditulis dalam sehelai kertas kemudian dilipat dan digulung untuk kemudian dimasukkan ke dalam kotak yang dihiasi dengan bunga dan wangi-wangian perangsang syahwat.
Para pemuda yang hendak mencari pasangan atau mengganti pasangan dengan yang baru, berkumpul sambil mengundi dan mengocok nama-nama gadis tersebut. Setiap nama gadis yang keluar dari undian tersebut, harus menjadi pasangannya selama satu tahun sebagai tempat untuk bersenang-senang dan hura-hura. Pada tanggal 15 sampai 18 Februari, upacara perayaan selanjutnya ditujukan untuk memohon perlindungan Dewa Lupercalia (dewa ini diakui sebagai dewa penyelamat dari gangguan roh jahat dan binatang buas) dari gangguan srigala. Pada upacara ini, para pemuda saling memecut dengan kulit-kulit binatang buas sebagai symbol upaya untuk menjauhkan diri dari bahaya binatang buas dan roh-roh jahat. Para gadisnya juga tidak mau ketinggalan, mereka sama-sama berebut untuk dipecut oleh kulit binatang tersebut karena diyakini akan memberikan kesuburan dan keturunan yang gagah dan kuat. Semakin banyak darah yang keluar dari tubuh si gadis yang dipecut tadi, semakin besar kemungkinan akan melahirkan keturunan bertitiskan Dewa.
Dalam buku The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity disebutkan, ketika Kristen Katolik memasuki kota Roma, upacara Lupercalia tersebut tetap dirayakan dan diadopsi hanya kemudian diwarnai dengan nauansa-nuansa Kristen. Di antaranya, nama-nama gadis dalam upacara tersebut diganti dengan nama-nama Paus dan Pastor. Orang yang berjasa dalam mewarnai upacara ini adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I. Untuk lebih mengkristalkan nuansa Kristennya, sebagaimana dipaparkan dalam The World Book Encyclopedia,  pada tahun 496 M, Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini sebagai Hari Resmi Perayaan Kudus Gereja yang disebut dengan Saint Valentine’s Day. Nama ini diambil untuk mengenang jasa Saint atau Santo Valentine yang kebetulan meninggal pada tanggal 14 Februari.  Saint atau Santo dalam tradisi Kristen berarti martyr atau dalam istilah Islam Syahid, syuhada, orang yang meninggal dalam memperjuangkan kebenaran. Saint atau Santo ini juga sekaligus gelar yang diberikan khusus kepada orang-orang yang rajin berderma dan membagi-bagi haidah.
Sedangkan kata Valentine sendiri ada yang mengartikan dengan, gigih dan Maha Kuasa. Namun, menurut para pakar bahasa, kemungkinan besar nama Valentine ini diambil dari bahasa Prancis Normandia, galantine yang berarti cinta (galant).
The Catholic Encyclopedia Vol. XI menyebutkan, dalam tradisi Kristen Katolik dikenal ada 3 nama Valentine yang meninggal pada tanggal 14 Februari, salah satu di antaranya diceritakan meninggal pada masa Romawi Kuno  dan Valentine inilah yang dinilai sebagai cikal bakal perayaan Hari Kasih Sayang yang marak belakangan ini.
Konon kejadian tersebut terjadi ketika Raja Romawi Kuno dipegang oleh Kaisar Claudius II. Kaisar ini terkenal kejam, bengis, jahat dan tukang perang. Demi menjaga stabilitas prajuritnya agar tetap prima, Kaisar melarang semua tentara mudanya untuk menikah. Menurutnya, pernikahan adalah sumber kekalahan karena prajuritnya menjadi loyo dan tidak kuat. Di tengah ancaman dan amar Kaisar Claudius II ini, ada seorang Pasteur (yang namanya tidak pernah disebutkan) yang secara sembunyi-sembunyi menikah-nikahkan prajurit mudanya dengan para gadis. Hal ini dilakukan untuk memperkecil tingkat "perzinahan" yang merebak dimana-mana.
Suatu hari, Kaisar mengetahui pekerjaan Pasteur ini. Tanpa berpikir panjang, akhirnya Pasteur tersebut dihukum gantung di depan ribuan prajurit dan masyarakat. Peristiwa penggantungan tersebut terjadi tepat pada tanggal 14 Pebruari tahun 269 M. Mengingat kebaikan dan jasanya dalam mengawin-ngawinkan pemuda-pemudi inilah kemudian Pasteur tersebut diberi gelaran Santo Valentine yang berarti Dermawan Asmara / Cinta. Demikian kisah yang ditulis dalam The World Book Encyclopedia. Dari sinilah kemudian setiap tanggal 14 Februari dikenal dengan sebutan Valentine's Day.
Itulah sekilas sejarah tentang apa yang dikenal sekarang dengan Valentine's Day. Dari uraian di atas, paling tidak dapat kita simpulkan hal-hal berikut:
1.        Keberadaan Valentine's Day masih diperbincangkan keabsahannya. Hal ini mengingat tidak ada cerita yang disepakati oleh setiap sejarawan Kristen
2.        Kalaupun Valentine's Day itu ada, dia pada awalnya adalah tradisi upacara penyembahan Dewa yang dilakukan oleh orang-orang Romawi Kuno yang dulu dikenal dengan nama Upacara Perayaan Lupercalia. Kemudian ketika Kristen Katolik masuk ke Roma, diganti dengan nama Perayaan Valentine.
3.        Ikut merayakan Hari Valentine, hakikatnya mengikuti sekaligus mengakui Santo Valentine, seorang pendeta Kristen.
4.        Tidak sedikit pendeta-pendeta dan gereja-gereja Kristenpun yang melarang ummatnya untuk merayakan acara ini karena dinilai telah keluar dari ajaran Kristus seperti yang dilakukan gereja-gereja di Slovenia.
Kini, bagaimana Islam memandang hal ini? Sesungguhnya, tanpa disebutkan jawabannya pun, anda sudah dapat mengambil kesimpulan sendiri. Yang jelas, bila Hari Valentine ini hendak dilihat dari sisi Hari Kasih Sayangnya, maka Islam sesungguhnya telah mengatakan dan mengajarkan ummatnya untuk senantiasa memiliki rasa kasih sayang setiap saat dan detik, bukan setahun sekali. Bahkan, bukan hanya itu, kasih sayang yang diajarkan Islam bukan semata berkaitan dengan sesama manusia, tapi juga dengan binatang sekalipun.
            Bukankah dalam sebuah hadits dikatakan, bahwa ada seorang wanita masuk neraka gara-gara mengurung kucing, tidak dikasih makan sehingga mati. Sebaliknya, ada seorang laki-laki masuk surga lantaran menolong dan memberi minum anjing yang kehausan di tengah padang pasir.
            Dalam hadits lain Rasulullah mengatakan bahwa seorang muslim dengan muslim lainnya dalam berkasih sayang dan saling pedulinya harus seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka anggota tubuh lainnya pun akan merasa sakit pula.
            Dalam hadits lain juga disebutkan, bahwa belum sempurna iman seseorang sehingga dia mencintai dan menyayangi saudaranya sebagaimana dia menyayangi dirinya sendiri. Kewajiban cinta kasih dan sayang ini dalam ajaran Islam bukan setahun sekali, tapi setiap saat dan detik.
            Lebih tegas lagi Rasulullah bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya: "Barangsiapa yang menyerupai sebuah kaum, kelompok, maka dia termasuk ke dalam kelompok mereka". (HR Turmudzi).
Sejarah dan pandangan islam terhadap Valentine’s Day sudah jelas. Apalagi kalau dilihat secara nilai, Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran sikap dan semangat. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih.
            Alih-alih mendekatkan diri pada nilai-nilai syariat, justru realita yang ada semangat Valentine’s Day adalah untuk menjauhkan kaum muslim dari nilai-nilai Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Wallahu’alam bishshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar