iS tHe best
“Khairun naasi anfa’uhum linnaas.”
Ada hadits pendek namun sarat makna dikutip Imam Suyuthi
dalam bukunya Al-Jami’ush Shaghir. Bunyinya, “Khairun naasi anfa’uhum
linnaas.” Terjemahan bebasnya: sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling
banyak bermanfaat bagi orang lain.
Saudaraku yang budiman….. Derajat hadits ini ini menurut Imam Suyuthi tergolong
hadits hasan. Syeikh Nasiruddin Al-Bani dalam bukunya Shahihul Jami’ush Shagir
sependapat dengan penilaian Imam Suyuthi. Adalah aksioma bahwa manusia itu
makhluk sosial. Tak ada yang bisa membantah. Tidak ada satu orangpun yang bisa
hidup sendiri, semua saling berketergantungan dan saling membutuhkan. Karena saling membutuhkan,
pola hubungan seseorang dengan orang lain adalah untuk saling mengambil
manfaat. Ada yang memberi jasa dan ada yang mendapat jasa. Si pemberi jasa
mendapat imbalan dan penerima jasa mendapat manfaat. Itulah pola hubungan yang
lazim, adil. Jika ada orang yang mengambil terlalu banyak manfaat dari orang
lain dengan pengorbanan yang amat minim, naluri kita akan mengatakan itu tidak
adil. Orang itu telah berlaku curang. Dan kita akan mengatakan seseorang
berbuat jahat ketika mengambil banyak manfaat untuk dirinya sendiri dengan cara
yang curang dan melanggar hak orang lain.
Saudaraku…. Begitulah hati sanubari kita, selalu menginginkan pola
hubungan yang saling ridho dalam mengambil manfaat dari satu sama lain sebagai
mana Alloh mengingatkan kita di dalam Al-Qur'an, “..dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”
QS. Al Maaidah : 2..
Jiwa kita akan senang dengan orang
yang mengambil manfaat bagi dirinya dengan cara yang baik. Kita anggap
seburuk-buruk manusia orang yang mengambil manfaat banyak dari diri kita dengan
cara yang salah. “dan
kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang
bathil),QS. Al Fajr : 19. Apakah itu menipu, mencuri, dan mengambil paksa, bahkan
dengan kekerasan. nauzubillahimunzalik
Saudaraku yang dirahmati Alloh… Namun yang luar biasa adalah orang lebih banyak memberi
dari mengambil manfaat dalam berhubungan dengan orang lain. Orang yang seperti
ini kita sebut orang yang terbaik di antara kita. Dermawan. Ikhlas. Tanpa
pamrih. Tidak punya vested interes.
Orang yang selalu menebar kebaikan
dan memberi manfaat bagi orang lain adalah sebaik-baik manusia. Kenapa
Rasulullah saw. menyebut seperti itu? Setidaknya ada empat alasan. Pertama, karena
ia dicintai Allah swt. Rasulullah saw, pernah bersabda yang bunyinya kurang
lebih, orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi
orang lain. Siapakah yang lebih baik dari orang yang dicintai Allah ?
Alasan kedua, karena ia
melakukan amal yang terbaik. Kaidah usul fiqih menyebutkan bahwa kebaikan yang
amalnya dirasakan orang lain lebih bermanfaat ketimbang yang manfaatnya
dirasakan oleh diri sendiri. Apalagi jika spektrumnya lebih luas lagi. Amal itu
bisa menyebabkan orang seluruh negeri merasakan manfaatnya. Karena itu tak
heran jika para sahabat ketika ingin melakukan suatu kebaikan bertanya kepada
Rasulullah, amal apa yang paling afdhol untuk dikerjakan. Ketika musim kemarau
dan masyarakat kesulitan air, Rasulullah berkata membuat sumur adalah amal yang
paling utama. Saat seseorang ingin berjihad sementara ia punya ibu yang sudah
sepuh dan tidak ada yang merawat, Rasulullah menyebut berbakti kepada si ibu
adalah amal yang paling utama bagi orang itu.
Saudaraku….. maka yang keKetiga, karena ia melakukan kebaikan yang
sangat besar pahalanya. Berbuat sesuatu untuk orang lain besar pahalanya.
Bahkan Rasulullah saw. berkata, “Seandainya aku berjalan bersama saudaraku
untuk memenuhi suatu kebutuhannya, maka itu lebih aku cintai daripada i'tikaf
sebulan di masjidku ini.” (HR. Thabrani). Subhanallah ternyata kebaikan
yang terbaik adalah ketika kesholehan diri kita dapan dirasakan oleh orang lain
bukan hanya dirinya.
Keempat,
memberi manfaat kepada orang lain tanpa
pamrih, “ yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,”
QS. Al Mulk : 2. Ketia keikhlasan itu menghujam di hati dan amal, maka dia takmengundang pujian dan sanjungan atas
amalnya. Allah swt. mengikuti persangkaan hambanya. Ketika orang menilai diri
kita adalah orang yang baik, maka Allah swt. menggolongkan kita ke dalam
golongan hambanya yang baik-baik.
Saudaraku….. ada kisah yang menarik. Pernah suatu ketika lewat orang
membawa jenazah untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut orang
itu sebagai orang yang tidak baik. Kemudian lewat lagi orang-orang membawa
jenazah lain untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut kebaikan
si mayit. Rasulullah saw. membenarkan. Seperti itu jugalah Allah swt. Karena
itu di surat At-Taubah ayat 105, Allah swt. menyuruh Rasulullah saw. untuk
memerintahkan kita, orang beriman, untuk beramal sebaik-baiknya amal agar
Allah, Rasul, dan orang beriman menilai amal-amal kita. Di hari akhir, Rasulullah
dan orang-orang beriman akan menjadi saksi di hadapan Allah bahwa kita seperti
yang mereka saksikan di dunia.
Saudaraku…. Untuk bisa menjadi orang
yang banyak memberi manfaat kepada orang lain, kita perlu menyiapkan beberapa
hal dalam diri kita. Pertama, tingkatkan derajat keimanan kita kepada
Allah swt. Sebab, amal tanpa pamrih adalah amal yang hanya mengharap ridho
kepada Allah. Kita tidak meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah swt.
saja balasannya. Ketika iman kita tipis terkikis, tak mungkin kita akan bisa
beramal ikhlas Lillahi Ta’ala. Ketika iman kita memuncak kepada Allah
swt., segala amal untuk memberi manfaat bagi orang lain menjadi ringan
dilakukan. Kisah seorang sahabat Rasul, Bilal bin Rabah bukanlah orang kaya. Ia
hidup miskin. Namun kepadanya, Rasulullah saw. memerintahkan untuk bersedekah.
Sebab, sedekah tidak membuat rezeki berkurang. Begitu kata Rasulullah saw.
Bilal mengimani janji Rasulullah saw. itu. Ia tidak ragu untuk bersedekah
dengan apa yang dimiliki dalam keadaan sesulit apapun.
Kedua, untuk bisa memberi manfaat yang banyak kepada orang lain
tanpa pamrih, kita harus mengikis habis sifat egois dan rasa serakah
terhadap materi dari diri kita. Allah swt. memberi contoh kaum Anshor.
Lihat surat Al-Hasyr ayat 9. Merekalah sebaik-baik manusia. Memberikan semua
yang mereka butuhkan untuk saudara mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika kaum
Muhajirin telah mapan secara financial, tidak terbetik di hati mereka untuk
meminta kembali apa yang pernah mereka beri.
Yang ketiga, tanamkan dalam diri kita logika bahwa sisa harta yang
ada pada diri kita adalah yang telah diberikan kepada orang lain. Bukan
yang ada dalam genggaman kita. Logika ini diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada
kita. Suatu ketika Rasulullah saw. menyembelih kambing. Beliau memerintahkan
seoran sahabat untuk menyedekahkan daging kambing itu. Setelah dibagi-bagi,
Rasulullah saw. bertanya, berapa yang tersisa. Sahabat itu menjawab, hanya
tinggal sepotong paha. Rasulullah saw. mengoreksi jawaban sahabat itu. Yang
tersisa bagi kita adalah apa yang telah dibagikan.
Begitulah. Yang tersisa adalah yang
telah dibagikan. Itulah milik kita yang hakiki karena kekal menjadi tabungan
kita di akhirat. Sementara, daging paha yang belum dibagikan hanya akan menjadi
sampah jika busuk tidak sempat kita manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika
kita makan. Begitulah harta kita. Jika kita tidak memanfaatkannya untuk beramal,
maka tidak akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan habis lapuk karena
waktu, hilang karena kematian kita, dan selalu menjadi intaian ahli waris kita.
Maka tak heran jika dalam sejarah kita melihat bahwa para sahabat dan
salafussaleh enteng saja menginfakkan uang yang mereka miliki. Sampai sampai
tidak terpikirkan untuk menyisakan barang sedirham pun untuk diri mereka
sendiri.
Keempat, kita akan mudah memberi manfaat tanpa pamrih kepada orang
lain jika dibenak kita ada pemahaman bahwa sebagaimana kita memperlakukan
seperti itu jugalah kita akan diperlakukan. Jika kita memuliakan tamu, maka
seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika bertamu. Ketika kita pelit ke
tetangga, maka sikap seperti itu jugalah yang kita dari tetangga kita.
Kelima, untuk bisa memberi, tentu kita harus memiliki sesuatu
untuk diberi. Kumpulkan bekal apapun bentuknya, apakah itu finansial,
pikiran, tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air, kita bisa memberi
minum orang yang harus. Jika punya ilmu, kita bisa mengajarkan orang yang tidak
tahu. Ketika kita sehat, kita bisa membantu beban seorang nenek yang menjinjing
tak besar. Luangkan waktu untuk bersosialisasi, dengan begitu kita bisa hadir
untuk orang-orang di sekitar kita. Mudah-mudahan yang sedikit ini bisa
menginspirasi. Walahualambishsowab